Dulu di kalangan masyarakat Sunda (dan mungkin juga ada di beberapa daerah lain seperti Betawi misalnya) yang ada di pedesaan, ada sebuah tradisi yang mungkin tidak akan ditemukan lagi saat ini. Tradisi yang dimaksud adalah tradisi saling menghantar makanan menjelang lebaran (idul fitri).
Tidak diketahui pasti sejak kapan tradisi saling menghantar makanan itu ada. Namun yang pasti tradisi itu sudah mulai hilang pada tahun 90 an.
Tradisi saling menghantar makanan ini pada umumnya dilakukan satu hari menjelang lebaran. Namun ada juga yang melakukannya dua sampai tiga hari, atau beberapa hari  sebelumnya.
Makanan yang dihantarkan adalah "makanan berat", yaitu makanan yang biasa dihidangkan di hari lebaran. Yaitu berupa nasi lengkap dengan lauk pauknya yang terdiri dari beragam tumis sayuran, dan daging. Kalau pun ada "makanan ringan" yang dihantarkan berupa kue misalnya, itu hanya tambahan saja.
"Makanan berat" itu pada umumnya dikemas dalam rantang susun. Rantang susun yang digunakan adalah yang "standar", yaitu rantang susun empat.
Rantang paling bawah hampir pasti semua diisi dengan nasi. Kemudian rantang di atasnya diisi tumis cabe hijau, tumis bihun dan kol, atau tumis kentang.
Selanjutnya rantang kedua dari atas diisi goreng tahu dan tempe, plus kerupuk udang. Sedangkan isi rantang paling atas pada umumnya diisi opor ayam atau daging rendang. Namun ada juga yang mengisinya dengan semur telur.
Pihak-pihak yang menjadi objek penerima hantaran makanan adalah tetangga sekitar rumah dan kerabat dekat. Selain itu juga beberapa orang  tokoh agama atau tokoh masyarakat yang dihormati, seperti guru  ngaji misalnya.
Keluarga yang akan melakukan tradisi menghantar makanan melakukan persiapan, tak ubahnya seperti akan melakukan sebuah pesta atau hajatan. Mereka menyiapkan  sayuran, daging, dan yang lainnya dalam jumlah banyak.
Oleh karena itu tak jarang tetangga dekat atau kerabat dekat kemudian datang membantu memasak di keluarga yang akan melakukan tradisi menghantar makanan. Ada yang membantu mengupas kentang, membersihkan ayam, atau mencuci beras.
Kegiatan memasak makanan dilakukan sejak pagi hari. Hal itu dengan tujuan agar  sebelum ashar semua makanan sudah matang. Selanjutnya pada sore hari setelah ashar makanan sudah bisa dibagikan.
"Kurir" rantang makanan biasanya anak-anak usia belasan  tahun ke bawah. Mereka adalah anak-anak dari keluarga yang akan melakukan tradisi menghantar makanan atau anak-anak tetangga. Nanti anak-anak yang jadi "kurir" itu diburuhan (dikasih upah) berupa uang atau satu rantang makanan.
Sebuah keluarga yang melakukan tradisi saling menghantar makanan satu hari menjelang lebaran, biasanya didasari pertimbangan efektifitas, tidak mau repot dua kali masak. Dengan masak makanan satu hari sebelum lebaran bisa sekalian masak makanan untuk persiapan perayaan lebaran esok harinya. Â Â
Saya termasuk generasi yang pernah merasakan suasana tradisi saling menghantar makanan menjelang lebaran itu. Saya ingat betul  bagaimana suasananya.
Terutama satu hari menjelang lebaran, di jalan desa, di jalan setapak, bahkan di jalan pematang sawah, kita bisa melihat pemandangan banyak orang berjalan dengan menenteng beberapa rantang susun. Mereka berjalan ke arah yang sama atau arah yang berlawanan, tergantung tujuan masing-masing.
Bagi anak-anak, momen seperti itu bisa sekalian sambil ngabuburit. Mereka megantarkan rantang makanan ke kerabat yang agak jauh, pas pulang menjelang maghrib, menjelang waktu berbuka puasa. Â
Anak-anak juga merasa senang jadi "kurir" pembawa rantang makanan karena nanti mereka akan menerima buruh (upah). Bahkan dengan buruh (upah) satu rantang makanan pun mereka sudah merasa senang.  Â
Tradisi saling menghantar makanan menjelang lebaran di kalangan masyarakat Sunda yang ada di pedesaan tempo doeloe itu jika dipahami dalam tradisi sekarang ini adalah bentuk saling berbagi parcel lebaran. Namun bentuknya adalah paket "makanan berat".
Tradisi saling menghantar makanan menjelang lebaran secara umum memang sudah tidak ada, walau pun di beberapa daerah tertentu mungkin masih ada yang melakukannya. Namun bukan berarti rasa simpati atau persudaraan antar tetangga dan saudara juga sudah tidak ada. Ini hanya masalah tradisi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H