Mohon tunggu...
Wiwin Zein
Wiwin Zein Mohon Tunggu... Freelancer - Wisdom Lover

Tinggal di Cianjur

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

SBY-AHY Harus Bersiap Terusir dari Rumah Sendiri

6 Maret 2021   11:35 Diperbarui: 6 Maret 2021   11:41 1354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
SBY dan AHY (tribunnews.com)

Terpilihnya Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko sebagai Ketua Umum Partai Demokrat versi KLB (Kongres Luar Biasa) kilat Partai Demokrat Deli Serdang Jum'at siang 05 Maret 2021 nampaknya akan membuat drama gonjang-ganjing politik di tubuh partai berlambang bintang mercy itu berlangsung panas dan lama. Saling klaim kepengurusan yang sah antara Partai Demokrat kubu AHY (Agus Harimurti Yudhoyono) dan Partai Demokrat kubu Moeldoko merupakan hal yang niscaya terjadi.

Walau pun dari perspektif AD/ART Partai Demokrat, sebagaimana disampaikan oleh Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam konferensi pers di kediamannya di Cikeas, Bogor, Jawa Barat pada Jum'at malam (05/03) bahwa KLB Deli Serdang itu ilegal, tapi legalitas yang sah dari Kementerian Hukum dan HAM RI (Kemenkumham) justru bisa saja didapatkan oleh Partai Demokrat kubu Moeldoko.

Hal itu merupakan sesuatu yang sangat mungkin terjadi, mengingat Moeldoko bukan lagi orang yang dekat dengan lingkaran kekuasaan, tapi justru merupakan orang yang berada di lingkaran kekuasaan itu sendiri. Artinya Kemenkumham RI sebagai bagian dari kekuasaan sangat masuk akal jika lebih mengakomodir kepengurusan Partai Demokrat kubu Moeldoko.

Apalagi kalau dikaitkan dengan pendapat sebagian pihak yang menyebut bahwa Partai Demokrat sengaja diambil alih untuk kepentingan kekuasaan. Sebab selama ini Partai Demokrat bersama PKS (Partai Keadilan Sejahtera) merupakan partai politik yang tidak termasuk partai politik pendukung pemerintahan Presiden Jokowi.

Kalau benar kepengurusan Partai Demokrat kubu Moeldoko pada akhirnya yang diakomodir dan diakui oleh Kemenkumham RI sebagai Partai Demokrat yang sah, maka Partai Demokrat kubu AHY dan tentu saja termasuk SBY harus bersiap-siap angkat kaki dari rumah mereka sendiri. Sebab hal yang tak mungkin jika ada dualisme kepengurusan dalam satu partai politik.

Nanti dalam verifikasi faktual kepengurusan partai politik yang dilakukan oleh KPU misalnya, berdasarkan Undang-undang partai politik pasti KPU hanya akan memverifikasi kepengurusan yang diakui dan memliki legalitas dari Kemenkumham RI saja. Kepengurusan lainnya akan diabaikan.

Berarti dalam hal ini SBY dan AHY harus menyiapkan skenario terburuk yang sangat mungkin terjadi. Skenario itu adalah mengubah nama dan lambang Partai Demokrat. Tidak mudah memang, tapi hal itu lebih baik daripada nanti mereka tidak bisa ikut Pemilu legislatif dan ikut Pilpres.

Bisa saja nanti SBY-AHY mengubah nama Partai Demokrat dengan menambahkan satu dua kata ke dalam nama partai itu. Misalnya Partai Demokrat Perjuangan, Partai Demokrat Yang Tersakiti, Partai Demokrat Yang Terzhalimi, atau yang lainnya. Intinya ada perbedaan nama dengan partai politik yang diberi legalitas oleh pemerintah cq. Kemnkumham RI.

Begitu pula dengan lambang partai. SBY-AHY bisa sedikit memodifikasi lambang Partai Demokrat bintang mercy dengan "bintang lima" misalnya. Mungkin juga dengan "bintang tujuh", "bintang kejora", "bintang seribu", dan lain-lain.  

Kalau hal itu benar-benar terjadi, tentu merupakan sesuatu yang sangat ironis dan tragis bagi SBY-AHY. Terlebih bagi SBY sebagai pendiri, ikon, dan magnet Partai Demokrat sendiri.

Mengenai klaim siapa pendiri Partai Demokrat sesungguhnya, mungkin sesuatu yang debatable. Akan tetapi hal yang faktual adalah bahwa Partai Demokrat bisa menjadi partai yang besar salah satunya adalah karena faktor SBY. Hal itu sebagai cottail-effect dari SBY sebagai calon presiden yang banyak dipilih oleh mayoritas masyarakat pemilih waktu itu.  

Pesona SBY waktu itu sungguh luar biasa. Aura dan magnet SBY juga sangat kuat. Kalau tidak, mana mungkin SBY bisa terpilih menjadi Presiden RI dua periode.

Akan tetapi kehidupan ini berputar. Dulu SBY berjaya dan dipuja, kini tidak lagi. Orang-orang yang dulu terkena "berkah" dari kedekatannya dengan SBY, mungkin sekarang justru menjauh dan malah melawannya.

Keadaan SBY saat ini mengingatkan saya kepada salah satu bait lagu seorang pengamen cilik yang populer beberapa tahun lalu. Lagu itu berjudul  "Aku Yang Dulu Bukan Yang Sekarang".

Baris pertama dan kedua bait awal lagu tersebut sangat pas dengan kondisi SBY saat ini. Dengan sedikiit modifikasi, baris pertama dan kedua bait awal lagu tersebut bisa kita alamatkan kepada SBY : "Kau yang dulu bukanlah yang sekarang. Dulu disayang sekarang kau ditendang...".

Itulah kehidupan. Itulah politik.  Itulah kekuasaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun