Kisruh di internal Partai Demokrat terkait adanya isu kudeta terhadap kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai Ketua Umum Partai Demokrat nampaknya masih belum akan berakhir. Apalagi dengan turun gunungnya Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merupakan sebuah indikasi bahwa tingkat kegawatan isu kudeta di partai politik tersebut cukup tinggi.
Sebelumnya pada awal-awal munculnya isu kudeta di internal Partai Demokrat pada awal Februari lalu, tak terdengar sama sekali respon atau komentar dari SBY. Baru beberapa waktu kemudian SBY muncul dengan melontarkan pernyataan secara terbuka terkait isu kudeta tersebut.
Melalui unggahan video yang dirilis Rabu (24/02) dengan jelas SBY menyebut nama Kepala Staf Kepresiden (KSP) Moeldoko sebagai pihak eksternal yang terkait dengan isu kudeta di internal Partai Demokrat tersebut. Namun SBY punya keyakinan bahwa apa yang dilakukan oleh Moeldoko di luar sepengetahuan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
SBY juga menafikan pihak-pihak lain selain Moeldoko yang ada di pemerintahan Presiden Jokowi seperti Menko Polhukam Mahfud MD atau Menkumham Yasonna Laoly terlibat dalam masalah kudeta tersebut. Intinya SBY hanya menuding Moeldoko sebagai pihak eksternal yang terlibat dalam masalah kudeta di internal Partai Demokrat.
Selanjutnya SBY kemudian secara tegas memberikan warning kepada pihak eksternal yang punya ambisi ingin merebut dan membeli Partai Demokrat. SBY menyebut bahwa partainya itu not for sale. Partai Demokrat menurutnya bukan untuk diperjualkan. SBY pun kemudian bersumpah selama hayat dikandung badan akan tetap menjadi kader Partai Demokrat dan akan menjadi benteng dan bhayangkara partai itu.
SBY dikenal bukan sebagai orang yang suka mengumbar kata-kata. SBY dikenal irit bicara. Namun melihat mimik serius dan nada bicaranya dalam video tersebut, nampak jelas mantan presiden RI dua periode itu sedang gundah dan marah.
Bolehkah seorang SBY marah? Tentu saja, tak ada aturan yang melarang seseorang termasuk SBY untuk marah. Sebagai pendiri Partai Demokrat SBY pantas merasa khawatir partai yang ia dirikan itu porak poranda oleh segelintir orang yang ada di tubuh Partai Demokrat sendiri.
Apalagi saat ini nahkoda Partai Demokrat adalah sang anak sulung, AHY. SBY tentu tidak rela harga diri sang anak tercabik-cabik dan karier politiknya ada yang menghabisi.
Kisruh di internal Partai Demokrat sepertinya bukan semata-mata dilatarbelakangi oleh masalah kepemimpinan AHY. Faktor lainnya adalah adanya perbedaan sikap politik antara pihak tertentu di internal Partai Demokrat dengan sikap politik Partai Demokrat. Mungkin hal ini tidak terlepas dari dukung mendukung terhadap Presiden Jokowi.
Sebagian pihak di internal Partai Demokrat lebih memilih Jokowi sebagai calon presiden di Pilpres 2019 dan terus mendukungnya sampai saat ini. Sementara Partai Demokrat sendiri lebih memilih calon presiden lain, yakni Prabowo Subianto dan kemudian mengambil sikap oposisi terhadap pemerintahan Presiden Jokowi.
Lihat saja pihak di internal Partai Demokrat yang disebut-sebut sebagai pihak yang akan melakukan kudeta itu. Ada nama Darmizal dan Jhoni Allen marbun. Keduanya pendukung militan Presiden Jokowi. Bahkan Darmizal adalah Ketua Umum ReJo (Relawan Jokowi).
Darmizal lah pihak yang secara terang-terangan memandang perlu diselenggarakannya KLB (Kongres Luar Biasa) Partai Demokrat. Darmizal pula yang menginginkan pergantian kepemimpinan di Partai Demokrat.
"KLB ini gerakan alamiah demokrasi, sangat sehat, dan bagus untuk titik balik menjemput masa depan cemerlang di bawah kepemimpinan baru yang matang, mumpuni, berpengalaman panjang mengabdi NKRI". Begitu pernyataan Darmizal seperti dilansir sindonews.com (25/02).
Darmizal adalah mantan ketua komisi pengawas Partai Demokrat. Ia juga mengaku sebagai pendiri Partai Demokrat. Ia juga yang menyatakan bahwa SBY bukanlah pendiri partai berlambang bintang mercy itu.
Bahkan dengan tegas Darmizal menyebut SBY lah yang sebenarnya telah melakukan kudeta terhadap para pendiri Partai Demokrat. SBY sebelumnya adalah orang luar yang diundang masuk ke dalam Partai Demokrat.(okezone.com, 23/02). Begitu versi dari Darmizal.
Apa yang disampaikan oleh Darmizal bisa benar bisa tidak. Itu adalah sebuah pernyataan subjektif. Mengenai hal ini pihak Partai Demokrat tentu memiliki "bukti sejarah" sendiri.
Andaikan saja apa yang disampaikan oleh Darmizal itu 100nar, bahwa SBY bukanlah pendiri dan hanya tamu di Partai Demokrat. Akan tetapi faktanya Partai Demokrat pernah menjadi partai politik terbesar adalah karena faktor SBY.
Publik tidak pernah tahu nama Darmizal atau nama lainnya. Publik tahunya nama SBY, alias Susilo Bambang Yudhoyono.
Waktu itu nama SBY begitu populer dan dielu-elukan. Aura SBY begitu kuat. Buktinya banyak orang, banyak tokoh merapat ke Partai Demokrat karena ada SBY di sana. Kalau pun setelah SBY habis dua periode dan popularitasnya menurun, kemudian banyak orang atau banyak tokoh loncat pagar kembali ke luar pagar Partai Demokrat, itu soal lain.
Saya masih ingat, menjelang Pemilu 2004 lalu pernah kedatangan kerabat jauh. Ia mengajak untuk bergabung masuk Partai Demokrat. Namun saya tidak mau karena tertarik untuk menjadi pengurus partai itu.
Sebelumnya saya tanya kerabat jauh itu, mengapa ia mau masuk menjadi pengurus Partai Demokrat? Ia menjawab karena ada Pak SBY. Ia sebut Pak SBY keren, seorang jenderal, tinggi besar, ganteng, dan juga pintar.k
Begitu pula banyak tetangga menjadi pemilih Partai Demokrat di Pemilu 2004 dan 2009 juga karena alasan yang sama. Alasan itu apalagi kalau bukan SBY.
Saya jadi bertanya-tanya, bahkan sampai saat ini. Kalau SBY tidak mendirikan atau tidak bergabung dengan Partai Demokrat, atau apalah namanya, apakah Partai Demokrat akan menjadi partai politik besar? Sampai saat ini saya tidak yakin.
Kalau lah SBY tidak pernah ada di Partai Demokrat, mungkin partai itu ada tapi hanya sebagai cameo seperti partai politik lain yang pernah ada tapi kemudian hilang kembali dengan segera. Banyak partai politik seperti itu. Hanya ikut Pemilu kemudian hilang lagi dari perpolitikan nasional.
Sebuah partai politik, walau bagaimana pun membutuhkan tokoh dengan "nama besar". Tanpa seorang tokoh yang memiliki "nama besar" sebuah partai politik sulit menjadi besar.
Partai Gerindra misalnya bisa menjadi partai politik besar, diakui atau tidak karena nama besar Prabowo Subianto. Tanpa ada nama Prabowo Subianto Partai Gerindra mungkin hanya merupakan partai politik penggembira Pemilu saja.
PDI Perjuangan juga begitu. Partai itu menjadi besar karena ada nama besar Megawati Soekarnoputri di sana. Tanpa ada nama Megawati, PDI Perjuangan belum tentu menjadi partai politik besar seperti saat ini.
Partai Hanura, pernah menjadi partai politik cukup besar karena nama besar Wiranto. Setelah tidak ada nama besar Wiranto, partai Hanura terbukti kemudian hanya menjadi partai politik gurem yang gagal masuk ke Senayan.
Begitu pula dengan partai politik lainnya. Bagaimana pun, untuk menjadi besar sebuah partai politik memang membutuhkan tokoh dengan "nama besar". Partai Demokrat juga begitu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H