Bulan Januari ini Indonesia telah memulai program vaksinasi sebagai upaya memutus rantai penyebaran virus corona (covid-19). Hal itu ditandai dengan pemberian vaksin perdana kepada Presiden Jokowi, Panglima TNI, Kapolri, Menteri Kesehatan, beberapa orang perwakilan ormas, tokoh agama, anak muda, pengusaha, dan lain-lain pada hari Rabu (13/01), di Istana Negara, Jakarta.
Kemudian vaksinasi selanjutnya akan diberikan kepada tenaga kesehatan sebagai pihak yang paling rentan tertular virus corona (covid-19). Setelah itu baru petugas pelayan publik, tokoh agama, pelaku ekonomi, guru, aparatur kementerian/lembaga, anggota legislatif, dan terakhir masyarakat sipil lainnya.
Indonesia memang bukan negara pertama yang melakukan program vaksinasi massal. Sebelum Indonesia tercatat ada beberapa negara yang sudah lebih dulu memberikan vaksin secara massal kepada warganya. Negara-negara itu antara lain Inggris, Bahrain, Amerika Serikat, Kanada, Arab saudi, dan Cina.
Program vaksinasi massal yang dilakukan di Indonesia bisa berjalan dengan baik dan sesuai harapan jika pemerintah sendiri bisa melakukan sosialisasi secara maksimal. Pemerintah harus mampu memberikan kepercayaan diri dan keyakinan kepada semua sehingga mereka mau, tidak ragu, dan merasa yakin jika divaksin.
Memberikan kepercayaan diri dan keyakinan kepada warga masyarakat sehingga mereka mau, tidak ragu, dan merasa yakin jika harus divaksin bukanlah perkara yang mudah. Pemerintah harus kerja keras dalam hal ini.
Saat ini paling tidak ada empat hal yang (akan) membuat warga masyarakat ragu untuk divaksin. Bukan hanya ragu, bahkan bisa jadi  mereka tetap tidak mau untuk divaksin.
Pertama, hoaks tentang vaksin. Sejak awal hoaks tentang vaksin ini banyak sekali berseliweran di media sosial. Misalnya hoaks bahwa vaksin mengandung bahan berbahaya seperti bahan pengawet dan virus hidup yang dilemahkan.
Ada juga hoaks bahwa vaksin bisa mengubah DNA manusia. Orang yang pernah mengatakan demikian dan menyebarkannya bahkan bukan orang biasa, tapi seorang presiden. Ya, Presiden Brasil Jair Bolsonaro pernah menghebohkan dengan mengatakan vaksin bisa mengubah seseorang menjadi buaya.
Apa yang dikatakan Presiden Brasil Jair Bolsonaro dipercaya juga oleh banyak orang. Hal itu karena banyak orang juga percaya bahwa vaksin berasal dari sel kera hijau Afrika. Sehingga menurut mereka, vaksin tidak hanya akan mengubah orang menjadi buaya tapi juga menjadi kera.
Selain itu masih banyak lagi hoaks tentang vaksin virus corona yang beredar dan berkembang di media sosial. Hoaks-hoaks itu tentu telah membuat sebagian orang ragu akan fungsi dan manfaat vaksin. Â
Kedua, tingkat efikasi vaksin yang berbeda. Hal ini juga bisa menjadi faktor yang membuat sebagian orang ragu  untuk divaksin.
Vaksin Sinovac atau CoronaVac misalnya. Otoritas Turki menyebut vaksin Sinovac atau CoronaVac memiliki tingkat efikasi 91 persen lebih (91,25%). Sementara di Brasil vaksin Sinovac atau CoronaVac disebutkan tingkat efikasinya hanya 50 persen lebih (50,4%).
Sedangkan di Indonesia sendiri, tingkat efikasi vaksin Sinovac atau CoronaVac ada diantara dua negara di atas. Tingkat efikasi vaksin Sinovac atau CoronaVac di Indonesia sebesar 65,3 persen.
Tingkat efikasi vaksin yang tidak sama atau "tidak standar" akan membuat sebagian orang mempertanyakan efektivitas vaksin dalam menangkal virus corona. Kalau sudah demikian, dengan sendirinya mereka juga akan ragu jika harus divaksin.Â
Ketiga, pernyataan pejabat yang meragukan vaksin dan tidak mau divaksin. Seperti pernyataan dr. Ribka Tjiptaning, Â anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PDI Perjuangan baru-baru ini yang cukup demonstratif, yang menyatakan dirinya atau keluarganya akan menolak untuk divaksin.
Hal itu Ribka sampaikan dalam rapat kerja Komisi IX DPR RI dengan Menteri Kesehatan di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa (12/01/2021). Menurut Ribka, ia dan keluarganya akan lebih memilih dikenai sanksi daripada harus divaksin.
Pernyataan Ribka sebagai wakil rakyat tersebut jelas akan cukup berpengaruh dan semakin menambah keraguan banyak orang yang meragukan vaksin. Mereka akan menjadikan pernyataan Ribka sebagai referensi.
Keempat, perkembangan kasus pandemi Covid 19 yang semakin melonjak di Cina belakangan ini. Hal ini juga dapat membuat orang ragu untuk divaksin.
Sebagaimana diberitakan banyak sumber, beberapa bulan terakhir ini Cina kembali alami ledakan kasus virus corona. Otoritas Cina pun kembali memberlakukan lock down di sejumlah wilayah. Seperti di beberapa kota yang ada di provinsi Hebei dan provinsi Heilongjiang.
Selain itu lock down juga diberlakukan di kota Langfang, Shijiazhuang, Suihua, Tieli, dan Xingthai. Sementara itu di Kota Beijing hanya diberlakukan protokol kesehatan yang sangat ketat.
Melihat perkembangan pandemi Covid 19 yang semakin melonjak di Cina tersebut, Masuk akal jika sebagian warga masyarakat menjadi semakin ragu untuk divaksin.
Logikanya sederhana. Cina berhasil memproduksi jutaan vaksin virus corona dan  dijual ke banyak negara. Akan tetapi mengapa justru di tempat jutaan vaksin virus corona diproduksi, kasus pandemi Covid 19 yang semakin melonjak?
Hal itu bisa saja dibaca bahwa vaksin virus corona "tidak bekerja". Sebab kalau vaksin virus corona efektif menangkal virus corona, maka kasus pandemi Covid 19 mungkin tidak akan kembali melonjak di Cina.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H