Sejurus kemudian kita tahu, bus yang mengalami rem blong itu ternyata bus yang kita stop tapi tidak mau berhenti. Bus itulah yang telah membuat kita merasa kesal, jengkel, dan marah. Bagaimana perasaan kita setelah mengetahui hal itu ?
Hampir bisa dipastikan, rasa kesal, jengkel, dan marah akan hilang seketika, berganti dengan rasa syukur. Bagaimana jadinya kalau bus yang rem blong itu waktu kita stop berhenti dan kita ada di dalamnya ?
Persepsi kita tentang "bus yang tidak berhenti ketika distop" merupakan sebuah keburukan seketika akan berganti. Pasti persepsi kita akan berubah seketika, bahwa "bus yang tidak berhenti ketika distop" merupakan sebuah kebaikan bagi kita. Ternyata persepsi kita tentang keburukan berubah hanya dalam selang waktu satu jam saja menjadi kebaikan.
Seperti itulah kehidupan. Banyak hal yang kita anggap sebagai "keburukan", justru hakikatnya mungkin adalah kebaikan bagi kita. Hanya saja kita tidak tahu "kebaikan yang tersembunyi" dalam sesuatu yang kita anggap "buruk" itu.
Mungkin kita menggerutu, ngomel, atau protes kepada Tuhan ketika kita tidak memiliki sesuatu yang dimiliki oleh orang lain. Mungkin kita menggerutu, ngomel, atau protes kepada Tuhan ketika kita tidak mendapatkan sesuatu yang kita inginkan.
Padahal dalam segala apa yang menimpa kita mungkin ada "kebaikan yang tersembunyi", yang tidak kita tahu. Kita hanya menilai dan melihat sesuatu dari luarnya saja, bukan dari hakikat sesuatu. "Kebaikan yang tersembunyi" itulah yang disebut dengan hikmah.
Kita tidak pernah tahu hikmah kehidupan yang sesungguhnya, kalau kita tidak memiliki ketajaman pikiran dan kebijakan hati. Bagi orang yang cerdas dan bijak, keburukan belum tentu dipandang sebagai sebuah keburukan. Sebaliknya kebaikan pun belum tentu dipandang sebagai sebuah kebaikan.