Sebagai manusia yang "belum sempurna", seorang anak belum bisa melakukan sesuatu dengan baik dan independen sebagaimana orang dewasa. Seorang anak juga masih sangat membutuhkan perlindungan dari orang dewasa. Oleh karena itu seorang anak memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap orang dewasa.
Menurut Konvensi Hak Anak (Convention on the Right of the Child) PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa), anak adalah setiap manusia yang berumur di bawah 18 tahun. Mereka memiliki beberapa hak yang layak mereka dapatkan sebagai seorang anak.
Berdasarkan Konvensi Hak Anak PBB tersebut, setiap anak memiliki hak untuk bermain, mendapatkan pendidikan, mendapatkan perlindungan, mendapatkan nama (identitas), dan mendapatkan status kebangsaan. Selain itu anak juga memiliki hak mendapatkan makanan, mendapatkan akses kesehatan, mendapatkan rekreasi, mendapatkan kesamaan, dan untuk memiliki peran dalam pembangunan.
Faktanya masih  banyak anak yang belum mendapatkan hak-haknya seperti disebutkan dalam Konvensi Hak Anak PBB secara maksimal. Jangankan mendapatkan semua hak, mendapatkan setengah dari hak-hak anak itu dengan maksimal, mungkin sudah terbilang bagus.
Faktor penghambat seorang anak untuk mendapatkan hak-haknya mungkin banyak dan variatif. Akan tetapi faktor yang bersifat umum sebagai faktor penghambat seorang anak untuk mendapatkan hak-haknya adalah masalah ekonomi.
Faktor ekonomi sebagai faktor penghambat seorang anak untuk mendapatkan hak-haknya ini akan sangat jelas jika kita membuat komparasi. Kita lihat bagaimana keterpenuhan hak-hak seorang anak dengan latar belakang keluarga yang ekonominya baik dan seorang anak dengan latar belakang keluarga yang ekonominya kurang baik.
Seorang anak yang lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang ekonominya baik, ia akan relatif mudah bisa mendapatkan hak untuk bermain, mendapatkan pendidikan, mendapatkan makanan, mendapatkan akses kesehatan, atau mendapatkan rekreasi misalnya. Sedangkan seorang anak yang lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang ekonominya kurang atau pas-pasan, ia sangat mungkin akan kesulitan bisa mendapatkan hak-haknya sebagai anak.
Betapa banyak anak yang berasal dari keluarga kurang mampu hanya untuk bermain seperti anak-anak lainnya saja tidak bisa karena harus bekerja membantu ekonomi orang tua atau keluarganya. Ketika anak-anak yang berasal dari keluarga yang ekonominya baik bisa menempuh pendidikan, cukup makanan, atau bisa rekreasi bersama keluarganya, anak yang berasal dari keluarga yang ekonominya kurang atau pas-pasan tidak sedikit yang tak bisa sekolah (drop out), kurang gizi, atau hanya menghabiskan waktu untuk bekerja. Â
Banyak kisah pilu seorang anak usia belasan tahun terpaksa harus sekolah sambil jualan atau menjajakan gorengan, es, dan yang lainnya, misalnya. Mereka harus menyingkirkan rasa malu, membuang jauh rasa gengsi, atau menguatkan diri walau pun badan sudah sangat lelah.
Seorang anak bernama Gilang (13 tahun) misalnya. Masa kecil yang seharusnya ia gunakan untuk bersekolah dan bermain tanpa memikirkan beban hidup, tapi justru ia manfaatkan untuk berjualan es moji dan sphagetti demi untuk membantu mencukupi kebutuhan keluarga.
Gilang yang sudah putus sekolah, biasanya berjualan di sekitar Fortune Regency, Tangerang. Dalam sehari Gilang bisa berjualan keliling dua kali di komplek perumahan itu.
Ada lagi seorang anak lain di Garut, Jawa Barat bernama Erwin Utama. Erwin yang masih duduk di sekolah dasar terpaksa harus berjualan bakso tahu sambil sekolah demi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, menginagt ia tinggal dengan bibinya. Orang tua Erwin tidak ada karena bekerja di luar kota.
Setiap pagi Erwin harus memikul gerobak baksonya dari rumah ke sekolah. Setelah pulang sekolah Erwin bukannya pulang ke rumah untuk istirahat, melainkan ia harus keliling kampung menjajakan bakso tahunya.
Baik Gilang maupun Erwin, keduanya hanya potret kecil dari sekian banyak Gilang dan Erwin lain. Nasib mereka tidak semujur anak-anak lain yang berasal dari keluarga yang ekonominya baik atau cukup.
Gilang dan Erwin, keduanya telah kehilangan hak-haknya sebagai anak. Keduanya terpaksa harus merelakan hak untuk bermain, hak untuk mendapatkan pendidikan, atau hak untuk mendapatkan rekreasi dan hak-hak lainnya.
Pada hari anak sedunia tahun 2020 ini kita semua tentu tidak berharap masih ada anak-anak seperti Gilang dan Erwin. Kita semua Justru berharap anak-anak yang bernasib seperti Gilang dan Erwin tidak ada lagi di bumi pertiwi ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H