Mohon tunggu...
Wiwin Zein
Wiwin Zein Mohon Tunggu... Freelancer - Wisdom Lover

Tinggal di Cianjur

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Saat Ini Masih Banyak Terjadi Kekerasan dan Eksploitasi terhadap Anak

20 November 2020   10:45 Diperbarui: 20 November 2020   18:56 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kekerasan dan eksploitasi terhadap anak (jateng.tribunnews.com)

Setiap anak, seharusnya bisa hidup, tumbuh kembang, dan mendapatkan hak-haknya dengan baik sebagaimana mestinya. Seperti menerima kasih sayang, menerima pendidikan yang baik, mendapat perlindungan, dan sebagainya. Faktanya masih banyak anak masih belum mendapatkan atau menerima hak-haknya itu.

Di berbagai belahan dunia masih banyak anak yang mendapatkan kekerasan dan eksploitasi. Ironisnya, sebagian pelaku justeru merupakan orang-orang terdekat, yang seharusnya justru menjadi pelindung dan pengayom bagi mereka. Banyak sekali kisah atau kasus kekerasan dan eksploitasi terhadap anak yang bisa membuat kita mengeluarkan air mata.

Di Indonesia pun demikian. Kasus kekerasan dan eksploitasi terhadap anak masih ada dan terus terjadi. Seperti yang mencuat di media massa awal bulan November ini, terjadi di Kendari Sulawesi Tengah.     

Seorang anak yatim piatu berinisial RK (11 tahun) ditemukan dalam kondisi tangan dan kaki terikat rantai, serta mulut ditutup lakban. Ia ditemukan oleh salah seorang pedagang sayuran di sebuah kios di Pasar Baruga, Kota Kendari, Sulawesi Tengah (8/11). Ternyata anak itu disekap oleh SR (55 tahun), tante RK yang sudah 6 tahun mengasuhnya setelah orang tua RK meninggal dunia ketika RK berusia 4 tahun.

RK diduga sering dieksploitasi oleh SR. Setiap pagi RK disuruh menjadi pengangkat barang dan belanjaan pembeli di pasar. RK juga harus membantu SR membungkus ikan untuk dikirim ke perusahaan. Jika RK tidak membawa uang banyak, ia akan dimarahi oleh tantenya itu.

Kasus lain kekerasan dan eksploitasi terhadap anak terungkap 3 Desember 2019 lalu di Kota Makssar. Selama dua tahun seorang ibu rumah tangga berinisial M (36 tahun) tega menyuruhnya anak perempuannya berinisial R yang masih berusia 9 tahun untuk mengemis di sebuah Mall di Kota Makassar. Jika sang anak tidak mau menuruti perintahnya, M akan memukuli anaknya itu.

Alasan M menyuruh anaknya mengemis adalah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Selain itu terungkap, ternyata M juga menyuruh anaknya R mengemis adalah untuk membayar uang arisan M sendiri.

Hal yang hampir sama terungkap pada pertengahan bulan September 2019 lalu, di Desa Teumpok Teungoh, Kecamatan Banda Sakti, Kota Lhokseumawe, Aceh Utara. Sejak usia 6 tahun, seorang anak dipaksa mengemis oleh ibu kandungnya berinisial UG (34 tahun) dan ayah tirinya berinisial MI (39 tahun).   

Si anak ditarget untuk membawa uang hasil mengemis minimal Rp 100 ribu. Bila tidak membawa uang sejumlah itu, maka si anak akan disiksa, dikurung, serta kaki dan tangannya dirantai.

Beberapa kasus kekerasan dan eksploitasi terhadap anak di atas hanyalah sedikit kasus yang bisa disebut dan terungkap. Selain itu tentu banyak kasus serupa yang terjadi. Kasus kekerasan dan eksploitasi terhadap bisa disebut seperti fenomena gunung es.

Setiap saat, setiap waktu kasus kekerasan dan eksploitasi terhadap anak sangat mungkin masih terjadi di banyak tempat oleh banyak pelaku. Kita masih mendengar berita tentang anak-anak perempuan di bawah umur dieksploitasi secara seksual, dijual kepada laki-laki hidung belang, atau dipekerjakan dengan gaji yang tidak manusiawi.

Kita juga masih melihat di banyak lampu merah, di tempat wisata, atau tempat keramaian lain, seorang ibu membawa anak-anaknya yang masih kecil, bahkan masih bayi untuk ikut mengemis. Tujuannya tentu untuk menarik rasa belas kasihan orang sehingga mau memberikan sedikit uang.

Kita tidak bisa membayangkan bagaimana kesehatan si anak nantinya. Seharian kepanasan, kurang makan dan minum, terkena polusi karena debu dan asap kendaraan, bahkan mungkin kehujanan.

Ada banyak faktor mengapa kekerasan dan eksploitasi terhadap anak masih terjadi sampai saat ini. Beberapa diantaranya dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi, faktor pendidikan, faktor lingkungan, atau faktor stress dalam keluarga.

Mengacu kepada banyak kasus yang terjadi, sepertinya faktor ekonomi merupakan faktor dominan sebagai penyebab terjadinya kekerasan dan eksploitasi terhadap anak. Seperti beberapa kasus di atas bisa menjelaskan hal ini.

Banyak orang tua dari keluarga miskin juga mungkin "tidak bermaksud' dan "tidak ingin" mempekerjakan anaknya untuk membantu bekerja demi meringankan beban ekonomi keluarga. Akan tetapi mereka mungkin terpaksa harus melakukannya, demi keluarga dan sang anak sendiri.  

Oleh karena faktor ekonomi merupakan faktor dominan sebagai penyebab terjadinya kekerasan dan eksploitasi terhadap anak, dengan demikian masalah ekonomi harus menjadi fokus perhatian pemerintah. Logikanya jika kehidupan ekonomi masyarakat meningkat atau membaik, maka dengan sendirinya angka atau kasus kekerasan dan eksploitasi terhadap anak tentu akan menurun.

Pencegahan dan perlindungan anak dari segala bentuk kekerasan dan eksploitasi menuntut peran serta semua pihak, tidak hanya pemerintah. Peran itu terutama harus diaminkan oleh orang-orang terdekat seperti orang tua, keluarga, dan masyarakat sekitar.

Dalam kesempatan ini, pada hari anak sedunia 2020 ini kita berharap tidak terjadi lagi berbagai bentuk kekerasan dan eksploitasi terhadap anak. Baik dilakukan oleh orang-orang terdekat atau oleh mereka yang tidak memiliki rasa kasih sayang dan belas kasihan terhadap anak.

Anak-anak yang sering mendapatkan tindak kekerasan dan eksploitasi bisa dipastikan memiliki kualitas diri yang rendah, sebab secara fisik atau psikis tidak normal seperti anak-anak lain yang dibesarkan dengan kasih sayang. Padahal anak adalah penerus generasi manusia berikutnya. Artinya jika kualitas anak-anak rendah, maka kualitas generasi manusia berikutnya juga akan rendah.

Kita tentu tidak ingin  generasi sesudah kita memiliki kualitas yang rendah. Oleh karena itu kita semua harus bisa melakukan upaya pencegahan agar kekerasan dan eksploitasi terhadap anak tidak terjadi lagi. Upaya pencegahan itu bisa kita mulai dari diri kita dan keluarga kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun