Sebagaimana diketahui bersama, berkaitan dengan momen Hari Pahlawan tanggal 10 November 2020 lalu Presiden Joko Widodo alias Jokowi memberikan tanda kehormatan atau penghargaan Bintang Mahaputera kepada  71 orang tokoh yang dianggap berjasa  kepada bangsa dan negara.  Pemberian Bintang Mahaputera itu dilakukan pada  tanggal 11 November atau sehari setelah perayaan Hari Pahlawan.
Mereka para penerima Bintang Mahaputera itu adalah para tokoh yang telah mengabdikan diri selama periode tertentu sebagai pejabat tinggi negara. Selain itu ada juga para tenaga kesehatan yang gugur sebagai pejuang kemanusiaan dalam memerangi Covid-19. Â Â
Di antara 71 orang tokoh penerima Bintang Mahaputera itu tercatat ada enam orang hakim MK (Mahkamah Konstitusi) aktif. Akan tetapi keenam orang hakim MK aktif itu sebelumnya telah menuntaskan periode tugas atau pengabdiannya sebagai hakim MK. Artinya penghargaan Bintang Mahaputera itu diberikan lebih terkait kepada "pengabdian yang sudah diselesaikan", bukan "pengabdian yang sedang dilaksanakan".
Bintang Mahaputera yang diberikan Presiden Jokowi kepada enam orang hakim MK ada dua jenis, yaitu Bintang Mahaputera Adipradana dan Bintang Mahaputera Utama. hakim MK penerima kedua jenis Bintang Mahaputera itu masing-masing ada tiga orang.
Hakim MK penerima Bintang Mahaputera Adipradana adalah Arief Hidayat (Ketua MK 2015-2018 dan hakim MK 2018-2023), Anwar Usman (Ketua MK 2018-2021), dan Aswanto (Wakil Ketua MK 2018-2021 dan hakim MK 2019-2024). Sedangkan hakim MK penerima Bintang Mahaputera Utama adalah Wahiduddin  Adams (hakim MK 2014-2019 dan 2019-2024), Suhartoyo (hakim MK 2015-2020 dan 2020-2025), dan Manahan Sitompul (hakim MK 2015-2020 dan 2020-2025).
Terkait diberikannya penghargaan Bintang Mahaputera kepada para hakim MK itu beberapa pihak memiliki kekhawatiran akan terganggu atau berkurangnya independensi mereka sebagai hakim MK. Kekhawatiran itu mungkin sesuatu yang wajar dan masuk akal.
Dirketur LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Jakarta, Arif Maulana misalnya, ia mendesak keenam hakim MK untuk mengembalikan penghargaan Bintang Mahaputera. Arif mencurigai penghargaan Bintang Mahaputera itu sebagai bentuk intervensi Presiden Jokowi terhadap independensi hakim MK.
Kecurigaan yang sama datang dari pakar hukum Universitas Trisakti, Abdul Ficar Hadjar. Menurut Ficar, penghargaan yang diberikan kepada enam orang hakim MK tidak etis meski memiliki dasar yuridis. Hal  itu dikarenakan pemerintah telah, sedang, dan akan berperkara di MK menyusul berbagai regulasi yang  digugat oleh masyarakat. Mulai dari UU KPK, UU Minerba, UU MK,  dan UU Cipta Kerja.
Demikian pula pandangan senada disampaikan oleh Ketua YLBHI (Yayasan  Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) Asfinawati. Menurut Asfinawati penghargaan Bintang Mahaputera sarat problem. Terlebih jika dikaitkan  dengan UU Cipta Kerja yang tengah ditangani oleh MK.
Kekhawatiran beberapa pihak akan terganggu atau berkurangnya independensi hakim MK memang sempat dibantah oleh juru bicara MK, Fajar Laksono. Menurut Fajar, enam hakim MK tidak akan bias dalam menangani suatu perkara meski mereka baru saja  menerima penghargaan Bintang Mahaputera dari Presiden Jokowi.
Pernyataan Fajar Laksono mungkin benar, tapi bukan sebuah jaminan. Independensi hakim MK ada dalam nurani masing-masing hakim MK. Kalau para hakim MK itu benar-benar menjalankan tugasnya sebagai "wakil tuhan", tentu penghargaan itu tak akan berpengaruh sedikitpun terhadap independensi mereka. Â
Masalahnya para hakim MK itu adalah manusia biasa yang sangat mungkin terpengaruh oleh "sesuatu yang besar". Dalam hal ini Penghargaan Bintang Mahaputera termasuk ketegori "sesuatu yang besar".
Mengapa penghargaan Bintang Mahaputera dikatakan "sesuatu yang besar" ? Sebab penghargaan Bintang Mahaputera diberikan oleh seorang kepala negara, yang tidak semua orang bisa mendapatkannya. Bisa mendapatkan penghargaan dari seorang kepala negara tentu merupakan sebuah kebanggaan tersendiri.
Oleh karena itu penghargaan Bintang Mahaputera yang diberikan oleh Presiden Jokowi kepada enam hakim MK memang berpotensi mengganggu atau mengurangi independensi mereka. Dalam hati para hakim MK sedikit banyak akan ada rasa "terima kasih" sehingga kemudian muncul rasa "sungkan" atau "hutang budi" kepada presiden Jokowi sebagai pemberi penghargaan.
Akan tetapi tentu saja kita semua berharap bahwa apa yang dikhawatirkan oleh beberapa pihak akan berkurang atau terganggunya independensi hakim MK tidak terbukti. Kita juga berharap apa yang disampaikan oleh juru bicara MK, Fajar Laksono benar adanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H