Ada banyak alasan subjektif orang mengkonsumsi minuman beralkohol. Seperti untuk menghangatkan badan atau untuk mencegah flu dan masuk angin. Mungkin juga ada yang beralasan untuk menambah daya tahan tubuh, dan lain-lain.
Bisa jadi beberapa alasan tadi benar, walau pun terkesan kurang jujur. Sebab sepertinya sedikit orang yang benar-benar mengkonsumsi minuman beralkohol untuk alasan "kesehatan". Mayoritas orang yang mengkonsumsi minuman beralkohol adalah untuk gaya hidup hedon, hura-hura, supaya terkesan "gagah", gaul, dan sebagainya.
Menurut dr. Kevin Adrian (alodokter.com), mengonsumsi minuman beralkohol dengan kadar tidak berlebihan diduga bisa menurunkan risiko penyakit berbahaya, seperti stroke, diabetes, hingga penyakit jantung. Namun mau sedikit atau banyak mengonsumsi minuman beralkohol, tetap saja tidak mengurangi bahaya yang bisa ditimbulkan oleh zat tersebut.
Beberapa penyakit yang bisa ditimbulkan karena mengonsumsi minuman beralkohol secara berlebihan menurut dr. Kevin Adrian antara lain merusak hati, menurunkan fungsi otak, dan mengganggu sistem pencernaan. Selain itu bisa juga meningkatkan risiko kanker dan penyakit jantung.
Prolog di atas menyatakan bahwa mengonsumsi minuman beralkohol memang ada manfaatnya, tapi ternyata madharat (keburukan) nya jauh lebih banyak dari manfaatnya. Â Padahal madharat (keburukan) itu baru ditinjau dalam konteks diri si konsumen. Belum lagi jika madharat (keburukan) ditinjau dalam konteks orang lain.
Betapa banyak tindakan kriminal, seperti perampokan, pembunuhan, pemerkosaan, dan kejahatan lainnya yang terjadi bermula dari "minuman beralkohol". Para pelaku kriminal itu sebelumnya mengonsumsi minuman beralkohol terlebih dahulu. Â Apakah pelaku tindakan kriminal melakukan perbuatan kriminalnya secara "tidak sengaja" setelah mengonsumsi minuman beralkohol atau sengaja mengonsumsi minuman beralkohol terlebih dahulu untuk melakukan tindakan kriminal, itu soal lain.
Melihat fakta banyaknya tindakan kriminal yang telah terjadi disebabkan minuman beralkohol, tidak salah jika minuman beralkohol disebut sebagai pemicu banyak perbuatan kriminal. Tidak berlebihan pula jika minuman beralkohol disebut sebagai sumber kejahatan.
Mengonsumsi minuman beralkohol mungkin "hak" bagi orang yang ingin mengonsumsinya. Akan tetapi di sisi lain, orang lain juga berhak untuk tidak menerima akibat buruk dari perbuatan orang yang mengonsumsi minuman beralkohol itu.
Oleh karena itu merupakan hal yang sangat positif jika regulasi tentang minuman beralkohol diperbaharui dan dibahas lagi demi memproteksi kepentingan orang banyak. Regulasi yang lama mungkin sudah tidak relevan karena "minuman beralkohol" ternyata seringkali masih memakan banyak korban terkena dampak buruknya. Â
Regulasi tentang minuman beralkohol (minol) sesungguhnya sudah ada semenjak era pemerintahan Presiden Soeharto. Regulasi itu berbentuk Keppres (Keputusan Presiden) Nomor 3 tahun 1997 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol.
Kemudian pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Perpres (Peraturan Presiden) Nomor 74 Tahun 2013 Tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol. Dalam regulasi ini minuman beralkohol golongan A tidak lagi dijual bebas, tapi dibatasi hanya di hotel, bar, restoran tertentu, toko bebas bea, dan tempat yang ditetapkan oleh kepala daerah.
Regulasi tentang minuman beralkohol yang ada baru sebatas Keppres dan Perpres. Kedudukan Keppres dan Perpres tidak sekuat Undang-undang. Oleh karena itu beberapa anggota legislatif mengusulkan RUU (Rancangan Undang-undang) Larangan Minuman Beralkohol.
Tujuan diajukannya RUU Larangan Minuman Beralkohol itu menurut pengusul adalah untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif akibat pengonsumsian minuman beralkohol. Soal minuman beralkohol juga menurut pengusul belum diatur secara spesifik dalam undang-undang. Selain itu regulasi larangan minuman beralkohol merupakan amanah  konstitusi dan agama.
Dalam RUU Larangan Minuman Beralkohol bukan berarti semua konsumsi minuman beralkohol total dilarang. RUU tersebut hanya mengatur secara lebih ketat tentang produksi, distribusi, dan konsumsi minuman beralkohol. RUU Larangan Minuman Beralkohol tetap mengakomodir konsumsi minuman beralkohol untuk kepentingan terbatas. Antara lain kepentingan adat, ritual keagamaan, farmasi, serta wisatawan dan tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan.
Bagi sebagian kalangan atau pihak tertentu, seperti para produsen, distributor, dan konsumen, hadir atau dibahasnya RUU Larangan Minuman Beralkohol tersebut mungkin menjadi sebuah gangguan. Akan tetapi mereka sebaiknya tidak egois. Mereka juga harus memikirkan kepentingan masyarakat yang lebih luas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H