Mohon tunggu...
Wiwin Zein
Wiwin Zein Mohon Tunggu... Freelancer - Wisdom Lover

Tinggal di Cianjur

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Apakah KAMI Ekuivalen dengan Petisi 50 pada Zaman Orde Baru?

14 Agustus 2020   06:40 Diperbarui: 14 Agustus 2020   08:00 1002
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ali Sadikin, salah seorang tokoh Petisi 50 (kompas.com)

Kita flashback sebentar ke tahun 80 an sewaktu masih zaman Orde Baru. Pada tanggal 5 Mei 1980 sejumlah tokoh nasional dan aktivis berkumpul di Jakarta menandatangani dan menyampaikan petisi ungkapan keprihatinan terhadap beberapa pernyataan dan sikap presiden Soeharto tentang Pancasila dan kebijakan pemerintahannya. Petisi tersebut dikenal sebagai "Petisi 50".

Petisi tersebut disebut Petisi 50 karena tokoh-tokoh yang menandatangani petisi berjumlah 50 orang. Mereka, para tokoh penanda tangan petisi bukanlah tokoh sembarangan.

Petisi 50 ditandatangani oleh sejumlah tokoh yang berjasa besar terhadap negeri ini, yang terdiri dari mantan perdana menteri, mantan pejabat tinggi, senior TNI/Polri, cendekiawan, akademisi, pengusaha, tokoh agama, dan tokoh masyarakat. 

Mereka antara lain M. Natsir dan Burhanudin Harahap (keduanya mantan Perdana Menteri), Syafrudin Prawiranegara (mantan Kepala Pemerintah Darurat Indonesia), dan Mr. Kasman Singodimedjo (mantan Menteri Muda Kehakiman dan Ketua KNIP).

Kemudian ada 9 (sembilan) orang jenderal, yaitu Jenderal A.H. Nasution, Jenderal Jasin, Jenderal Ahmad Yunus Mokoginta, Letjen Ali Sadikin, Marsekal Madya Sujitno Sukirno, dan Jenderal Hoegeng Imam Santoso (mantan Kapolri yang disebut Gus Dur sebagai polisi jujur).

Selain itu ada nama Maqdir Ismail (pengacara), AM. Fatwa (tokoh agama), SK Trimurti (wartawan), Judilherry Justam (tokoh Malari), Anwar Harjono (tokoh Masyumi), Darsjaf Rahman (Sastrawan), Chris Siney Keytimu (Pendiri KNPI), dan lain-lain. Tokoh Petisi 50 lain yang tidak disebut di sini bukan berarti tokoh yang tidak penting. Ini hanya masalah efektivitas ruang saja.

Para tokoh Petisi 50 menunjukkan sikap dan melakukan tindakan yang sangat beresiko waktu itu tentu bukan karena mereka tidak mendapat jatah jabatan di pemerintahan, bukan karena mereka sakit hati, bukan karena sebagian mereka sudah tua dan tidak punya aktivitas, atau bukan karena sikap nyinyir. Mereka melakukan itu sebagai bentuk lain pengabdian mereka terhadap rakyat, bangsa, dan negara.

Mereka, para tokoh Petisi 50 bukanlah pahlawan kesiangan atau orang-orang yang cari panggung, sebab mereka bukanlah para keroco. Jiwa patriot, jiwa pejuang, dan jiwa pengabdian mereka terhadap rakyat, bangsa, dan negara lah yang memanggil mereka sebagai respon terhadap pemerintahan Soeharto dengan Orde Barunya yang tidak on the right track.

Para tokoh Petisi 50 itu merasa kecewa terhadap presiden Soeharto, karena menurut mereka presiden Soeharto telah banyak menyimpang dari ketentuan dan semangat konstitusi. Mereka mengecam dan mengoreksi kebijakan ekonomi presiden Soeharto yang tidak adil. Mereka juga mengkritik keras penyalahgunaan kekuasaan sehingga KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) merajalela.

Apakah Petisi 50 merupakan gerakan anti pemerintah yang liar? Bagi presiden Soeharto dan pemerintahan Orde Barunya, serta para pendukung setia pasti akan mengatakan seperti itu. Padahal Petisi 50 merupakan gerakan konstitusional anak-anak bangsa untuk mengingatkan dan meluruskan kebijakan pemerintahan presiden Soeharto.   

Presiden Soeharto sendiri mungkin tidak merasa bahwa kebijakan pemerintahannya banyak yang menyimpang atau keliru. Presiden Soeharto merasa bahwa semua kebijakan pemerintahannya baik-baik saja, tak ada yang keliru, dan oleh karena itu tak perlu ada pihak yang mengkritisi, mengoreksi, apalagi menyalahkannya.

Sebagai penguasa otoriter Orde Baru tentu saja presiden Soeharto murka kepada para tokoh Petisi 50. Presiden Soeharto merasa tidak nyaman dan merasa terganggu dengan adanya para tokoh itu. Padahal para tokoh Petisi 50 itu merupakan orang-orang yang sungguh luar biasa besar jasanya terhadap Republik ini.

Presiden Soeharto memandang para tokoh Petisi 50 sebagai musuh yang harus dilenyapkan. Hal itu seperti diungkapkan oleh M. Natsir dalam bukunya "Indonesia di Persimpangan Jalan" seperti ini, "Lawan pendapat' bukan lagi dipandang sebagai "kawan berpikir" dalam suatu kehidupan bernegara yang demokratis, tetapi dipandang sebagai musuh dengan segala konsekuensinya."

Bagaimana perlakuan Presiden Soeharto kemudian kepada para tokoh Petisi 50 ? Mereka dipantau oleh intel, dipersulit usahanya, dan dilarang ke luar negeri. Tegasnya mereka mendapat isolasi politik, sosial,  dan ekonomi. 

Begitulah para tokoh Petisi 50. Mereka bermaksud baik, yaitu dengan mengkritisi, mengoreksi, dan mengingatkan pemerintah Orde Baru. Akan tetapi maksud baik mereka malah mendapatkan balasan dan perlakuan yang tidak baik. 

Empat puluh tahun lebih kemudian setelah para tokoh Petisi 50 mendeklarasikan sikap mereka terhadap presiden Soeharto dan pemerintahan Orde Barunya, saat ini sejumlah tokoh nasional akan melakukan hal serupa. Apakah mereka akan menandatangani dan menyampaikan Petisi 50 juga ? Tentu tidak.

Sebagaimana ramai diberitakan banyak media, bahwa sejumlah tokoh nasional dari berbagai latar belakang seperti Din Syamsudin, Rocky Gerung, Refly Harun, Said Didu, Jenderal Gatot Nurmantyo, Rizal Ramli, Abdullah Hehamahua, M. Said Didu, Ichsanudin Noorsy, Adhie Massardi, Hatta Taliwang, Sri Bintang Pamungkas, Tamsil Linrung dan sejumlah tokoh lain saat ini sedang bersiap-siap untuk melakukan deklarasi sebuah gerakan moral yang mereka sebut dengan KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia).

Deklarasi KAMI menurut kabar yang beredar, akan dilakukan sehari setelah peringatan HUT RI (Hari Ulang Tahun Republik Indonesia). Yakni pada hari Selasa, tanggal 18 Agustus 2020, bertempat di Lapangan Tugu Proklamasi, Jalan Pegangsaan Timur,  Jakarta Pusat.  Apakah KAMI ekuivalen dengan Petisi 50 ?

Sebagaimana Petisi 50, kemunculan KAMI merupakan respons terhadap presiden dan pemerintahannya. Bedanya dulu Petisi 50 muncul sebagai respons terhadap kebijakan-kebijakan pemerintahan Presiden Soeharto. Sedangkan KAMI saat ini muncul sebagai respons terhadap kebijakan-kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Petisi 50 dan KAMI adalah "asap" bukan "api". Artinya kedua gerakan itu muncul sebagai respon atau reaksi terhadap "api", yakni kebijakan-kebijakan presiden dan pemerintahannya yang mereka nilai tidak on the right track. Kalau presiden dan pemerintahannya on the right track, tentu Petisi 50 dan KAMI tidak  akan muncul pada zaman mereka masing-masing.

Apakah para tokoh KAMI berhak menilai bahwa pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini tidak on the right track ? Tentu saja, mengapa tidak ? Setiap orang berhak menilai.

Apalagi tokoh-tokoh KAMI bukanlah para keroco. Mereka kaum intelektual, akademisi, dan pakar yang keilmuannya tidak diragukan lagi. Mereka bukan anak kecil yang menilai sesuatu berdasarkan like and dislike.

Dalam demokrasi, perbedaan pandangan, pendapat, penilaian, termasuk menyatakannya sah adanya dijamin oleh konstitusi. Sementara itu di sisi lain merupakan hal yang wajar pula jika presiden dan pemerintahannya, termasuk para pendukung setia bersikap depensif, tidak merasa bahwa pemerintahan saat ini memiliki kekurangan atau kesalahan.

Sikap reaktif dan sensitif yang ditunjukkan beberapa orang dengan menyebut KAMI sebagai kelompok orang-orang yang sedang cari panggung, barisan sakit hati, tidak ada kerjaan, dan sebagainya, justru sebuah sikap yang tidak demokratis. Narasi-narasi seperti itu juga merupakan sikap tidak bijak dan menunjukkan ketidakdewasaan dalam bernegara.

Menyebut para tokoh KAMI sebagai orang-orang yang hanya bisa mengkritik tanpa memberikan solusi itu juga keliru, sebab memberikan kritik tidak harus dengan memberikan solusi. Memberikan kritik berarti menunjukkan kekeliruan atau kesalahan. Memperbaiki kekeliruan atau kesalahan itu tugas pihak yang dikritik, bukan tugas  orang yang mengkritik.

Sebagaimana kehadiran Petisi 50, kehadiran KAMI juga merupakan sesuatu yang konstitusional. Mempermasalahkan sesuatu yang konstitusional tentu merupakan sikap yang inkonstitusional.    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun