Akan tetapi selain para suporter yang biasa disebut sebagai pemain ke-12, sebenarnya ada lagi pihak lain yang juga terkadang disebut pemain ke-12. Dialah wasit sebagai pengadil di lapangan.
Mengapa wasit terkadang juga disebut sebagai pemain ke-12 padahal tidak seperti suporter yang memiliki daya pressure terhadap pemain di lapangan ? Ya, wasit memang tidak memiliki "power" seperti yang dimiliki para suporter. Tetapi jangan lupa, wasit memiliki sesuatu yang justru tidak dimiliki para suporter, yakni kekuasaannya dalam mengambil keputusan di lapangan.Â
Seorang wasit yang tidak jujur atau "bisa dibeli" bisa saja dengan kekuasaan yang dimilikinya akan memenangkan tim yang "membeli" dirinya, dengan cara mengatur skor pertandingan misalnya. Kasus seperti ini sudah banyak terjadi dalam pertandingan sepak bola.
Kita ingat salah satu klub elit Italia dan dunia, Juventus pernah terperosok dalam "lubang" Calciopoli. Wasit lah yang dominan dalam Calciopoli itu. Sehingga Juventus dianggap sebagai tim yang selalu diuntungkan atau dimenangkan oleh wasit.
Di Indonesia sendiri beberapa kali terjadi kasus mafia wasit. Banyak wasit terlibat dalam kasus ini. Modusnya dengan kekuasaan yang mereka miliki di lapangan, mereka memberikan keuntungan atau kemenangan kepada tim yang sudah melakukan deal dengan dirinya.
Dengan demikian, walau pun saat ini pertandingan sepakbola pada era new normal di beberapa liga Eropa tidak dihadiri para suporter sebagai pemain ke-12, tidak serta merta pertandingan akan berjalan secara fair. Â Hal itu terjadi jika ada pemain ke-12 lain yang ikut bermain di lapangan, yakni wasit sebagai pengadil di lapangan yang tidak adil, yang menyalahgunakan kekuasaannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI