Dalam sebuah kompetisi atau kejuaraan sepak bola seperti dalam Liga Champions Eropa misalnya, dikenal ada pertandingan home and away atau pertandingan kandang dan tandang. Yaitu pertandingan sebanyak dua kali, yang dilakukan di kandang sendiri dan di kandang lawan.
Biasanya tim yang bertindak sebagai tuan rumah (kandang) lebih diunggulkan daripada tim tamu. Mengapa ? Salah satunya karena faktor suporter atau penonton. Sebagaimana namanya, suporter ini memberikan semangat dan dukungan penuh kepada tim kesayangannya yang bertindak sebagai tuan rumah.
Selain sebagai pemberi semangat tim kesayangan, suporter seringkali juga menjadi "terrorist" (peneror) bagi tim lawan. Teriakan-teriakan, yel-yel, kata-kata cemoohan, provokasi, atau intimidasi yang dilontarkan, bahkan tindakan-tindakan cenderung brutal dan membahayakan kadang membuat drop mental bertanding tim lawan.
Sehingga tak jarang tim tamu yang hebat sekali pun ketika bertandang ke markas tim yang memiliki suporter fanatik, kehebatannya berkurang karena pressure dari para suporter tim tuan rumah tadi. Akibatnya tak sedikit tim hebat harus menelan kekalahan dari tim tuan rumah dalam laga tandangnya.
Besarnya pengaruh para suporter menyebabkan tim yang didukungnya di lapangan seolah-olah seperti memiliki jumlah pemain lebih banyak. Oleh karena itu para suporter seringkali dipandang sebagai pemain ke-12 (kedua belas) bagi tim yang didukungnya.
Di Indonesia siapa yang tak mengenal nama Viking, Bonek, Aremania, LA mania, atau The Jakmania ? Mereka adalah kelompok para suporter sepak bola fanatik Persib Bandung, Persebaya Surabaya, Arema Malang, Persela Lamongan, dan Persija Jakarta.
Di Eropa kita familiar dengan nama Interisti, Milanisti, Juventini, Barcelonistas, Madridistas, Liverpudlian/Kopites, Citizen, atau Gala. Mereka kelompok suporter dari Inter Milan, AC Milan, Juventus, Barcelona, Real Madrid, Liverpool, Manchester City, dan Galatasaray. Â
Saat ini di era new normal, pertandingan sepak bola di banyak negara Eropa bergeliat kembali melanjutkan sisa kompetisi. Tetapi dengan tetap menerapkan protokol kesehatan. Salah satunya pertandingan dilakukan tanpa dihadiri penonton kedua belah tim.
Kita lihat Bundesliga, Serie A, La Liga, atau Premier League, dilangsungkan tanpa dihadiri penonton. Bangku penonton yang biasanya penuh sesak oleh para suporter, sekarang hanya diisi dengan aksesoris warna warni.
Ketiadaan suporter dalam laga liga-liga Eropa di atas praktis membuat pertandingan menjadi sepi. Tidak ada sorak sorai, yel-yel, atau aksi-aksi lain yang menjadi penyemangat tim yang didukung dan membuat drop mental tim lawan. Dengan demikian, pemain ke-12 dalam era new normal ini menjadi tidak ada. Â
Dengan tidak adanya pemain ke-12, apakah berarti pertandingan menjadi lebih fair ? Bisa jadi. Harusnya memang para pemain tidak lagi merasa diprovokasi atau diintimidasi oleh para suporter, sehingga mereka lebih lepas bermain mengeluarkan semua skill dan teknik pemainan yang dimilikinya.