Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila atau RUU HIP sepertinya merupakan RUU yang paling mendapat reaksi paling keras dari berbagai elemen masyarakat.
Bahkan dibandingkan dengan RUU Cipta Kerja (Omnibus law) atau RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Sosial) yang ditentang banyak pihak pun, Â RUU HIP masih jauh mendapat tentangan yang lebih keras.
Tak kurang dari dua Ormas Islam tebesar di Indonesia, yakni NU dan Muhammadiyah juga menentang keras terhadap RUU HIP. Termasuk organisasi para ulama, yakni MUI yang menjadi "lembaga fatwa" bagi umat Islam melakukan hal yang sama. Belum lagi para tokoh dan cendekiawan muslim sendiri, para ahli hukum, dan tokoh lainnya.
Banyak argumentasi yang dikemukakan oleh mereka yang menolak keras RUU HIP. Antara karena menurut mereka dalam RUU HIP tidak tercantum TAP MPRS/XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI dan Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme. RUU HIP juga dinilai berpotensi mendown grade pancasila itu sendiri, karena Pancasila sejatinya berada di atas Undang-undang.
Argumentasi lain dari pihak yang menolak keras RUU HIP bukan sesuatu yang urgen untuk dibahas karena banyak hal lain yang lebih penting untuk dibahas. Sementara Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya PBNU Rumadi Ahmad menyebut bahwa RUU HIP tersebut disusun secara sembrono, kurang sensitif dengan pertarungan ideologi.
Walau pun banyak pihak menolak keras RUU HIP, tetapi RUU tersebut tidak termasuk RUU yang ditarik dari Prolegnas (Program Legislasi Nasional) Prioritas 2020 oleh DPR. Padahal baru-baru ini DPR telah menarik 16 (enam belas) RUU yang dianggap "tidak prioritas" dan "bermasalah" dari Prolegnas Prioritas 2020. Salah satunya RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Sosial) yang juga mendapat penolakan dari banyak pihak.
Bahkan PDI-P sebagai partai yang bersikeras mendorong RUU HIP ini menjadi Undang-undang, kemudian melakukan manuver agar RUU HIP tetap bisa diterima oleh seluruh pihak dan disahkan menjadi Undang-undang. Manuver yang dilakukan oleh PDI-P adalah dengan mengembalikan nomenklatur RUU tersebut kepada nomenklatur awal, yaitu RUU PIP (Pembinaan Ideologi Pancasila).
Manuver dari PDI-P tersebut nampaknya tidak akan berjalan mulus dan tidak akan mengubah sikap banyak pihak yang menolak keras RUU HIP kendati dikembalikan kepada nomenklatur awal, yaitu RUU PIP.
Seperti disampaikan oleh Ketua PP Muhammadiyah, Dadang Kahmad misalnya. Menurut Dadang, Muhammadiyah menginginkan RUU itu dicabut, tidak dilanjutkan dan tidak mengganti judul. Kalau substansinya masih tetap sama, menurut Dadang sama saja dengan membohongi rakyat.
Kemudian dari internal DPR sendiri masih banyak anggota yang menolak RUU tersebut. Seperti dari anggota Badan Legislasi DPR RI sendiri yang berasal dari Fraksi Partai Demokrat, Bambang Purwanto.
Bambang mempertanyakan pihak yang bersikukuh melanjutkan pembahasan RUU HIP dengan meminta nama RUU itu diubah menjadi RUU PIP. Hal itu menurut Bambang tidak sesuai dengan desakan publik yang meminta RUU HIP dibatalkan.