Pada bulan Juli 2019, Presiden Jokowi sempat mengatakan bahwa anak-anaknya sama sekali tidak tertarik untuk terjun ke dunia politik. Bahkan sebelumnya, dalam banyak kesempatan presiden sendiri menyatakan bahwa dirinya tidak akan menyertakan keluarga besarnya dalam politik.
Akan tetapi tak lama berselang, tak sampai tiga bulan kemudian terdengar kabar bahwa anak sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka menyatakan akan terjun ke dunia politik. Ia bersiap maju di Pilkada Kota Solo menjadi calon walikota. Padahal sebelumnya Gibran, dalam banyak kesempatan sering mengatakan bahwa dirinya tidak tertarik untuk berpolitik praktis dan lebih memilih untuk menjadi pengusaha.
Sebagai bukti keseriusannya, Gibran kemudian mendaftar menjadi anggota PDI-P agar mendapatkan "perahu" sebagai syarat untuk mendaftar jadi calon Walikota. PDI-P sendiri sebetulnya sudah punya jagoan untuk calon Walikota, yakni Achmad Purnomo. Tapi dengan majunya Gibran, PDI-P sepertinya akan meninggalkan Achmad Purnomo demi mendukung Gibran.
Begitulah dalam politik. Sebuah janji yang diucapkan seperti "bebas nilai". Kalau pun pada akhirnya janji yang diucapkan tidak seperti yang pernah dijanjikan atau diucapkan, dianggap bukan suatu masalah.
Apa yang pernah diucapkan oleh Presiden Jokowi dan Gibran Rakabuming kepada publik hanyalah "secuil" dari banyak janji yang berseliweran dalam dunia politik. Ada banyak pihak yang pernah melontarkan sebuah janji tapi dalam perkembangan kemudian ia "mengingkari" janjinya itu. Walaupun mungkin dari sudut pandang politik, "mengingkari" janji itu tidak salah karena justeru sebagai bagian dari sebuah strategi.
Kita ingat dulu sebelum Nasdem menjadi sebuah partai, asalnya merupakan sebuah ormas. Ormas Nasdem merupakan sebuah ormas gerakan moral, yang didirikan oleh Surya Paloh bersama banyak tokoh berpengaruh yang dikenal memiliki integritas moral yang baik.
Waktu itu Surya Paloh dalam berbagai kesempatan menyampaikan dengan penuh semangat dan berapi-api bahwa Nasdem tidak akan pernah menjadi sebuah partai politik dan tetap akan menjadi ormas. Tapi dalam perkembangan kemudian, Nasdem ternyata bertransformasi menjadi sebuah partai politik.
Mantan Presiden SBY (Soesilo Bambang Yudhoyono) sesungguhnya sebelum ikut dalam kontestasi pemilihan presiden secara langsung untuk pertama kalinya pada tahun 2004 silam pernah mengatakan bahwa jika dirinya terpilih secara langsung jadi presiden RI, maka ia hanya akan menjadi presiden untuk satu periode saja demi memberi contoh demokrasi yang baik. Tapi faktanya beliau ternyata kemudian mencalonkan kembali sebagai calon presiden untuk kali kedua pada pemilu 2009 dan terpilih kembali menjadi presiden RI.
Pada tahun 2009 lalu kita mungkin pernah mendengar "Perjanjian Batu Tulis". Yaitu perjanjian antara Megawati Soekarnoputri dengan Prabowo Subianto tertanggal 16 Mei 2009, yang berisi tujuh poin kesepakatan. Salah satu kesepakatan dalam perjanjian itu Prabowo akan disokong menjadi presiden pada Pemilu 2014.
Akan tetapi faktanya kemudian berbeda. Megawati Soekarnoputri dengan PDI-P nya ternyata lebih memilih mendukung Joko Widodo menjadi Calon Presiden dibandingkan Prabowo Subianto.
Padahal waktu itu Joko Widodo masih merupakan gubernur DKI Jakarta terpilih, yang diusung oleh Prabowo Subianto sendiri dengan Gerindranya, dipasangkan dengan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Joko Widodo waktu itu berkali-kali mengatakan tak akan maju mencalonkan diri menjadi calon presiden RI, dan akan fokus menuntaskan memimpin Jakarta selama lima tahun.
Sewaktu Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022 Sandiaga Uno mundur dari jabatannya karena akan menjadi cawapres mendampingi Prabowo Subianto yang didukung oleh Gerindra pada pemilihan presiden langsung tahun 2019 lalu, PKS dengan sepenuh hati mendukung Gerindra. Kabarnya Prabowo Subianto sebagai ketua umum Gerindra berjanji bahwa posisi wakil gubernur yang kosong, yang ditinggalkan oleh Sandiaga Uno akan diberikan kepada PKS.
Prabowo Subianto-Sandiaga Uno ternyata gagal dalam pemilihan presiden langsung tahun 2019 itu. Sandiaga Uno tidak mau kembali lagi menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta karena ia memegang etika politik. Sesuai janji Prabowo Subianto, posisi Wakil Gubernur DKI Jakarta yang kosong itu akan menjadi jatah PKS.
Akan tetapi pemilihan Wakil Gubernur DKI Jakarta kemudian menjadi drama yang cukup panjang dan alot. Faktanya PKS harus gigit jari karena posisi wakil gubernur ternyata kembali diambil oleh kader Gerindra, yakni Ahmad Riza Patria. Hubungan PKS-Gerindra yang dulu disebut bukan lagi “sekutu” tapi “segajah” pun menjadi renggang.
Itulah beberapa fakta yang terjadi terkait janji dalam politik, yang ending-nya berbeda dengan apa yang pernah dijanjikan. Hal itu dalam politik, mungkin tidak bisa disebut sebagai "wanprestasi" melainkan justeru sebagai sebuah strategi.
Dengan demikian ketika mendengar sebuah janji dalam politik, siapa pun yang menyampaikannya sebaiknya jangan terlalu dimasukan ke dalam hati. Hal itu boleh kita dengar, tapi tidak boleh terlalu kita percaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H