Mohon tunggu...
Wiwin Zein
Wiwin Zein Mohon Tunggu... Freelancer - Wisdom Lover

Tinggal di Cianjur

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

RUU Pemilu, Akankah Ada Perubahan yang Lebih Baik?

8 Juni 2020   12:19 Diperbarui: 9 Juni 2020   06:56 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pemilu | sumber foto: Kompas.com

Ajang "pesta demokrasi" lima tahunan Pemilu (Pemilihan Umum) baru saja kita laksanakan tahun 2019 lalu. Akan tetapi DPR saat ini sudah menggodok kembali "aturan main" untuk Pemilu tahun 2024.

Tidak apa-apa sebenarnya, sebab Pemilu memang membutuhkan persiapan yang baik dan matang agar kualitasnya lebih baik dari penyelenggaraan Pemilu sebelumnya.

Rancangan "Aturan main" untuk Pemilu tahun 2024, yakni Rancangan Undang-undang Pemilu (RUU Pemilu) merupakan salah satu RUU prioritas yang telah masuk ke dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) tahun 2020. RUU Pemilu ini dijadwalkan sudah selesai sebelum akhir tahun 2020.

RUU Pemilu dibuat, tentu saja bukan semata-mata keinginan atau untuk kepentingan partai politik, tetapi juga untuk merespon situasi dan kondisi, melihat kebutuhan, dan mempertimbangkan kemaslahatan bagi rakyat.

Kalau tanpa itu semua, RUU Pemilu hanya akan menjadi semacam alat atau permainan politik dari partai-partai politik saja untuk berkuasa atau melanggengkan kekuasaan.

Beredar banyak informasi tentang beberapa poin krusial yang ada dalam draft RUU Pemilu yang telah masuk ke dalam Prolegnas tahun 2020 itu. Antara lain mengenai sistem pemilu, parliamentary treshold (ambang batas parlemen), dan presidential treshold (ambang batas pencalonan presiden).

Mengenai sistem pemilu, dalam draft RUU Pemilu itu dilaksanakan dengan proporsional tertutup. Artinya, calon anggota legislatif tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat tapi ditentukan oleh partai politik. Rakyat hanya memilih atau mencoblos partai politik tempat calon anggota legislatif itu mencalonkan diri.

Hal itu memang belum disepakati oleh semua fraksi. Kabarnya baru PDI-P dan Partai Golkar yang menyetujuinya. Partai Nasdem, PKB, PKS, Demokrat, dan PAN tetap menginginkan sistem proporsional terbuka.

Sementara Partai Gerindra belum menentukan sikap, apakah setuju dengan sistem proporsional tertutup atau sistem proporsional terbuka.

Kalaulah suara anggota lesgislatif atau suara partai/fraksi yang menginginkan sistem proporsional terbuka kalah dalam pembahasan RUU Pemilu tersebut, berarti sebuah langkah mundur.

Mengapa? Karena sistem pemilu akan kembali kepada sistem pemilu waktu rezim Orde Baru (walau pun tidak persis sama).

Rakyat tidak bisa menentukan langsung wakilnya, karena pilihan rakyat "diwakili" oleh partai politik.

Hal itu juga menjadi kontradiksi dengan istilah "wakil rakyat" itu sendiri. Sebab faktanya para calon anggota lesgislatif bukan "wakil rakyat" tapi "wakil partai politik".

Para calon anggota legislatif yang dipilih langsung oleh rakyat juga sebenarnya tidak serta merta menunjukkan bahwa dia itu berkualitas, dikenal, atau bisa mewakili aspirasi.

Sebab faktanya tidak sedikit anggota legislatif terpilih bukan karena dia berkualitas, dikenal, atau bisa mewakili aspirasi, tapi karena faktor lain. Tak sedikit pula calon anggota legislatif setelah terpilih menjadi lupa dengan para pemilihnya.

Artinya sama saja, rakyat atau partai politik yang menentukan calon anggota legislatif tidak terlalu berpengaruh signifikan bagi rakyat.

Hanya saja jika rakyat yang benar-benar memilih calon wakilnya, hal itu berarti sesuai dengan makna demokrasi itu sendiri. Itu saja.

rumahpemilu.org
rumahpemilu.org
Selanjutnya mengenai parliamentary treshold (ambang batas parlemen). Dalam RUU pemilu tersebut parliamentary treshold ada beberapa alternatif. Belum juga disepakati oleh semua fraksi/partai politik.

Alternatif pertama, parliamentary treshold sebesar 7% dan berlaku nasional. Kabarnya alternatif pertama ini didukung oleh fraksi/partai Nasdem dan fraksi/partai Golkar. 

Alternatif kedua, parliamentary treshold sebesar 5% untuk DPR RI, 4% untuk DPRD provinsi, dan 3% untuk DPRD Kabupaten/kota. Kabarnya alternatif kedua ini disetujui fraksi/partai PDI-P.

Terakhir alternatif ketiga, parliamentary treshold sebesar 4% untuk DPR RI, dan 0% untuk DPRD provinsi dan untuk DPRD Kabupaten/kota. Kabarnya alternatif ketiga ini didukung oleh fraksi/partai PKS, PAN, dan PPP.

Pada pemilu lalu (2019) parliamentary treshold (ambang batas parlemen) sebesar 4%. Dengan parliamentary treshold sebesar itu hanya ada 9 (sembilan) partai politik yang berhasil lolos. Apalagi jika parliamentary treshold dinaikkan menjadi lebih dari 4%.

Jika parliamentary treshold dinaikkan masalahnya bukan berapa banyak partai yang akan lolos atau tidak lolos, tapi dikhawatirkan akan lebih banyak lagi suara rakyat yang terbuang atau hangus sia-sia.

Pada Pemilu 2019 saja ada sekitar 13 juta lebih suara rakyat yang terbuang atau hangus sia-sia kumulatif dari tujuh partai politik yang perolehan suara nasionalnya kurang dari empat persen.

Isu krusial yang tak kalah pentingnya dalam draft RUU Pemilu kali ini adalah mengenai presidential treshold (ambang batas pencalonan presiden).

Kabarnya ada sebagian fraksi yang ingin tetap 20 persen suara parlemen dan 25 persen suara sah nasional. Akan tetapi ada juga fraksi yang menginginkan presidential treshold itu diturunkan.

Masalah presidential treshold ini jangan dianggap sepele. Sebab hal tersebut dinilai oleh sebagian akademisi dan tokoh politik sebagai faktor penyebab tensi pemilu dan politik menjadi panas seperti tahun 2019.

Selain itu sebagian dari mereka juga menyebut bahwa presidential treshold ini bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945.

Oleh karena itu tidak sedikit dari para akademisi, tokoh politik, pengamat, tokoh masyarakat, dan yang lainnya mengusulkan agar presidential treshold ini 0 persen.

Sebab selama warga negara memenuhi syarat yang ditentukan oleh Undang-undang, siapa pun memiliki hak untuk dicalonkan sebagai calon presiden atau calon wakil presiden.

Hal tersebut diharapkan bisa meredam suhu politik dan tensi politik, serta memupus keterbelahan masyarakat seperti yang terjadi pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019 lalu.

Sehingga warga masyarakat mengikuti dan berpartisipasi dalam Pemilu dengan perasaan riang gembira. Kalau seperti itu, bisa dipastikan di masyarakat kita tak akan ada lagi "Cebong" dan "Kampret".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun