Keputusan pemerintah Indonesia tentang pembatalan keberangkatan jemaah haji tahun ini, yang disampaikan oleh Menteri Agama RI, Fachrul Razi pada hari selasa, 02 Juni 2020 menuai polemik. Keputusan yang tertuang dalam Keputusan Menteri Agama RI Nomor 494 Tahun 2020 Tentang Pembatalan Keberangkatan Jemaah Haji Pada Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1441 H/2020 M itu dipermasalahkan oleh Ketua Komisi VIII DPR RI, Yandri Susanto dan beberapa anggota Komisi VIII DPR RI lainnya.
Yandri Susanto dan anggota Komisi VIII DPR RI lainnya sesungguhnya tidak mempermasalahkan "isi keputusan" menteri agama itu sendiri, tapi prosedur atau SOP dalam mengeluarkan keputusan itu. Seperti dilansir dari http://www.dpr.go.id/ (02/05/2020), Yandri menyayangkan keputusan menteri agama tersebut karena tidak melakukan konsultasi terlebih dahulu dengan Komisi VIII DPR RI.
Menurut Yandri, berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2019 Tentang Haji dan Umroh, keputusan terkait penyelenggaraan haji harus diputuskan pemerintah bersama dengan DPR. Pemerintah tidak bisa memutuskan secara sepihak. Yandri menyebut, keputusan kementerian agama mengenai pembatalan keberangkatan jemaah haji tahun 2020 Â sebagai keputusan yang melanggar undang-undang.
Seperti halnya Yandri Susanto, sang Ketua Komisi VIII DPR RI, beberapa koleganya anggota Komisi VIII DPR RI pun berpendapat hampir sama. Mereka itu, seperti Ace Hasan Sadzili, Achmad, Nurhasan Zaidi, Iskan Qolba Lubis, dan Diah Pitaloka, semua menyayangkan dan menyesalkan keputusan sepihak yang diambil oleh pemerintah c.q. Menteri Agama RI, Fachrul Razi. Mereka menilai, keputusan menteri agama tersebut melanggar atau melangkahi undang-undang, yakni Undang-undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umroh.
Sementara Menteri Agama RI, Fachrul Razi mengklaim bahwa sebelum mengambil keputusan itu, pihaknya telah melakukan sejumlah kajian. Pihaknya juga telah menjalin komunikasi yang intensif dengan Kementerian Urusan Haji Arab Saudi.
Selain itu menteri agama mengklaim telah pula melakukan komunikasi dengan berbagai pihak termasuk dengan MUI (Majelis Ulama Indonesia) dan Komisi VIII DPR RI. Menurut menteri agama, komunikasi dengan Komisi VIII DPR RI dilakukan melalui komunikasi formal rapat kerja dan komunikasi infromal secara langsung.
Terkait polemik ini ada perkembangan terbaru yang disampaikan oleh Ketua Komisi VIII DPR RI, Yandri Susanto. Seperti dilansir dari https://nasional.tempo.co/ (03/06/2020), Politikus PAN tersebut menuturkan bahwa Menteri Agama RI telah menyatakan minta maaf karena memutuskan pembatalan ibadah haji tahun 2020 secara sepihak. Menurut penuturan Yandri, menteri agama melakukan pembatalan ibadah haji tersebut karena diperintah oleh Presiden Jokowi.
Ada beberapa hal menarik dari polemik ini. Terutama dalam hal prosedur atau SOP dalam membuat sebuah keputusan.
Pertama, Komisi VIII DPR RI memberikan respon negatif terhadap keputusan menteri agama yang melakukan pembatalan ibadah haji tahun ini tentu bukan karena masalah ego lembaga atau pribadi, tapi berdasarkan regulasi. Mereka mengacu kepada regulasi yang ada, yakni Undang-undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umroh.
Berdasarkan Undang-undang tersebut, terutama pasal 46, 47, dan 48, memang kebijakan penyelenggaraan Ibadah haji dan Umrah harus dengan persetujuan DPR RI. Dalam hal ini tentu Komisi VIII yang membidangi masalah keagamaan. Â
Kedua, klaim Menteri Agama RI, Fachrul Razi bahwa sebelum mengambil keputusan membatalkan ibadah haji tahun ini selain telah melakukan sejumlah kajian, telah menjalin komunikasi yang intensif dengan Kementerian Urusan Haji Arab Saudi dan MUI, juga telah melakukan komunikasi dengan Komisi VIII DPR RI, yang dilakukan melalui komunikasi formal rapat kerja dan komunikasi infromal secara langsung.
Berkenaan dengan masalah menteri agama telah melakukan sejumlah kajian dan telah menjalin komunikasi yang intensif dengan Kementerian Urusan Haji Arab Saudi dan MUI, mungkin tidak masalah. Akan tetapi melakukan klaim telah melakukan komunikasi dengan Komisi VIII DPR RI, yang dilakukan melalui komunikasi formal rapat kerja dan komunikasi infromal secara langsung, patut dipertanyakan.
Betul, bahwa menteri agama dengan Komisis VIII DPR RI telah melakukan beberapa kali rapat mengenai persiapan ibadah haji tahun 2020. Akan tetapi rapat-rapat itu tidak menyangkut pengambilan keputusan pembatalan ibadah haji tahun 1441 H/2020 M.
Ketiga, Â Pengakuan Menteri Agama RI, Fachrul Razi seperti disampaikan oleh Yandri Susanto bahwa dirinya membuat dan mengeluarkan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 494 Tahun 2020 Tentang Pembatalan Keberangkatan Jemaah Haji Pada Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1441 H/2020 M itu karena karena diperintah oleh Presiden Jokowi. Sebagai pembantu presiden, tentu menteri agama tidak memiliki opsi untuk menolak perintah itu.
Masalahnya, mengapa Presiden Jokowi memerintahkan sesuatu yang tidak sejalan dengan Undang-undang (UU Nomor 8 Tahun 2019) yang ada? Jika dikatakan bahwa Presiden Jokowi tidak memahami Undang-undang tentu tidak mungkin. Ini mungkin lebih kepada masalah kelalaian atau ketidaktelitian saja.
Akan tetapi Presiden Jokowi banyak memiliki pembantu yang memahami berbagai hal, termasuk masalah hukum dan perundang-undangan. Lantas, peran mereka itu di mana? Jangan sampai ada kesan bahwa Presiden Jokowi bekerja sendirian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H