Sejak empat tahun yang lalu, melalui Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016, tanggal 1 Juni ditetapkan sebagai hari lahir Pancasila. Hal itu didasarkan kepada pidato Bung Karno dalam rapat Dokuritsu Junbi Cosakai atau BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 1 Juni 1945 di gedung Chuo Sangi In (zama Belanda disebut gedung Volksraad), Jakarta.
Pancasila lahir sebelum Republik Indonesia berdiri. Artinya usia Pancasila lebih tua dari Republik Indonesia sendiri.Â
Pancasila bisa diterima dan disepakati oleh semua penganut agama yang ada di Indonesia sebagai dasar negara karena butir-butirnya bersifat universal, mencerminkan nilai-nilai moral yang ada dalam setiap agama. Dalam bahasa (almarhum) Cak Nur (Prof. Nurcholish Madjid), Pancasila adalah kalimatun sawa (titik temu) agama-agama yang ada di Indonesia.
Pancasila yang berisi nilai-nilai moral yang universal itu sejatinya bisa menjadi pandangan hidup (way of life) semua orang, tanpa melihat strata sosial. Tidak rakyat atau pejabat, tidak kaya atau miskin, tidak "orang kecil" atau "orang besar", tidak siapa pun, semua dituntut untuk bisa mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan kesehariannya.
Apakah nilai-nilai Pancasila hari ini sudah menjiwai sikap dan perilaku semua orang, termasuk para penyelenggara negara ? Sepertinya belum. Sebab banyak dari mereka mengklaim dirinya Pancasilais tapi pada kenyataannya, sikap dan perilakunya masih jauh dari nilai-nilai Pancasila.
Kita harus mengatakan hal ini walau pun dengan berat dan pahit, bahwa tidak sedikit dari para penyelenggara negara secara teoritis hafal dan memahami nilai-nilai Pancasila, tapi mereka tidak mampu mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila itu dalam kehidupan kesehariannya. Tak jarang kebijakan-kebijakan yang mereka ambil seperti bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila itu sendiri.
Dalam hal ini terutama poin kedua dari Pancasila, yakni "Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab" dan poin kelima dari Pancasila, yakni "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia" merupakan dua poin yang belum mampu dijalankan oleh para penyelenggara negara dengan  baik. Sebagian dari mereka (kita sebut oknum) bahkan terkesan tidak mau menjalankan kedua poin Pancasila itu.
Faktanya, diskriminasi hukum masih terjadi, kesenjangan sosial masih ada, dan perlakuan-perlakuan yang mencerminkan ketidakadilan terhadap warga negara masih terjadi. Bukankah hal itu merupakan sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila ?
Idealnya para pengamal pertama nilai-nilai Pancasila itu adalah para pejabat atau para penyelenggara negara. Sebab mereka lah yang memiliki legalitas untuk membawa arah negara ini ke mana. Selain itu mereka adalah role model bagi rakyat dalam mengamalkan nilai-nilai Pancasila.
Kalau para pejabat atau para penyelenggara negara bersikap dan berperilaku yang kurang mencerminkan nilai-nilai Pancasila, jangan harap rakyat memiliki kepercayaan dan sikap respek. Sebaliknya jika para pejabat atau para penyelenggara negara bersikap dan berperilaku yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila, maka akan tumbuh  kepercayaan dan sikap respek yang tinggi dari rakyat.
Pancasila tidak akan bermakna jika tidak dijadikan pandangan hidup (way of life) dan diimplementasikan dalam kehidupan. Secara satire, penyanyi Iwan Fals pernah menyebut hal ini dalam salah satu bait lagunya:
"Pancasila itu bukanlah rumus kode buntut
Yang hanya berisikan harapan
Yang hanya  berisikan khayalan". Â
Sebagai refleksi di Hari Lahir Pancasila tahun 2020 ini, mari kita semua mengadakan perenungan, mari kita semua mengadakan introspeksi, mari kita semua mengadakan evaluasi.Â
Sudahkah kita mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan keseharian, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Jawaban hal itu tentu tak perlu dituangkan di atas selembar kertas, cukup dijawab dalam hati terdalam masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H