Muhammad Ainun Nadjib alias Emha Ainun Nadjib, atau yang akrab disebut dengan panggilan Cak Nun alias Mbah Nun adalah satu dari sedikit "manusia langka" yang pernah ada di Indonesia. Ia adalah paradoks, antitesis, dan anti mainstream bagi kehidupan manusia zaman ini.
Cak Nun atau Mbah Nun adalah seorang agamawan, budayawan, intelektual, dan penyair yang lebih memilih "jalan sunyi" dan sufistik dalam hiruk pikuk kehidupan ini. Ketika banyak orang berburu ketenaran, jabatan, kemewahan, atau apa pun yang bersifat duniawi, Cak Nun malah menghindar dan menjauhi semuanya.
Cak Nun menenggelamkan diri dari hingar bingar politik, kekuasaan, dan kemewahan dunaiwi bukan karena ia tidak memiliki kesempatan, kompetensi, atau kapasitas, tapi karena ia memang tak menginginkannya.Â
Kalau lah Cak Nun mau, mungkin tak akan sulit baginya untuk mendapatkan jabatan politik atau jabatan di pemerintahan, serta kemewahan dunia lainnya yang diburu dan diimpikan banyak orang.
Cak Nun seperti itu bukan karena ia seorang yang pesimis atau angkuh. Tapi karena masalah prinsisp hidup atau filsafat hidup yang ia pegang dan ia yakini. Â
Cak Nun memiliki prinsip hidup atau filsafat hidup yang sangat berbeda dengan kebanyakan orang juga bukan berarti ia seorang yang apatis, yang tak peduli dengan kondisi rakyat dan kondisi negeri.Â
Justru Cak Nun sangat concern dan care dengan kondisi rakyat dan negeri ini. Sedikit flash back ke tahun 1998 lalu, Cak Nun lah saat itu yang menjadi salah satu aktor utama reformasi, yang berjuang demi rakyat dan negara yang lebih baik. Â
Cak Nun juga banyak memberikan pencerahan, pendidikan, dan wawasan kepada rakyat melalui banyak forum kajian dan pengajian yang rutin ia laksanakan. Seperti melalui forum Pengajian Padhangmbulan (Jombang) yang dilaksanakan setiap tanggal 15 bulan Jawa atau tepat pada saat malam bulan purnama. Kemudian melalui forum Pengajian Kenduri Cinta (Jakarta) yang dilaksanakan setiap  hari Jum'at minggu kedua.
Selanjutnya ada forum Pengajian Mocopat Syafaat (Yogyakarta) yang dilaksanakan setiap tanggal 17. Lalu forum Pengajian Gambang Syafaat (Semarang) yang dilaksanakan setiap tanggal 25. Kemudian juga ada forum Pengajian Bangbang Wetan (Surabaya), yang dilaksanakan sehari setelah forum Pengajian Padhangmbulan.
Selain itu di luar jadwal pengajian rutin di atas, ada juga forum pengajian yang dilangsungkan di beberapa kota seperti Bandung, Pekalongan, Makassar, Lampung, dan lain-lain. Forum pengajian tersebut berlangsung secara rutin maupun tentatif.
Secara khusus Cak Nun memiliki jaringan komunitas pengajian yang disebut dengan Jamaah Maiyah. Jamaah Maiyah ini merupakan jaringan komunitas spiritual dan keilmuan, yang aktif mengikuti berbagai forum pengajian dan kajian yang diadakan oleh Cak Nun.
Melalui banyak karya sastra, teater, drama, dan buku, Cak Nun juga berupaya memberikan pencerahan, pendidikan, dan wawasan kepada rakyat. Tercatat sudah puluhan karya sastra teater, drama, dan buku yang telah dihasilkan oleh Cak Nun. Selain memberikan pencerahan, pendidikan, dan wawasan kepada rakyat, karya-karya Cak Nun juga berisi bayak kritik sosial dan kritik terhadap penguasa (pemerintah).
Adapun bentuk kepedulian dan kasih sayang Cak Nun kepada negeri ini, yakni dengan seringnya ia melontarkan kritikan terhadap para penguasa negeri. Kritik-kritik yang sering ia sampaikan tak jarang membuat panas telinga pihak yang dikritiknya.
Akan tetapi semua kritikan Cak Nun dijamin seratus persen "objektif". Sebab Cak Nun tak punya kepentingan apa pun dengan semua kritiknya. Hal  yang sangat berbeda dengan kritik-kritik yang disampaikan oleh para politisi atau pihak oposisi yang sarat dengan kepentingan, atau dalam rangka melakukan bargaining politik.
Apabila Cak Nun mau dan merasa perlu menyampaikan kritik kepada penguasa (pemerintah), ia akan melakukannya dengan tanpa beban. Cak Nun tak merasa khawatir penguasa (pemerintah) tersinggung atau marah karena kritikannya. Tak ada sesuatu pun yang Cak Nun inginkan dari penguasa (pemerintah).
Bahkan ada quote Cak Nun yang sangat viral dan terkesan sombong, yakni "Saya tidak pernah mau dipanggil ke istana dan saya tidak bangga sama sekali. Hina kalau saya sampai ke sana". Ungkapan itu menurut Cak Nun tidak bermakna sombong karena memang rakyatlah pemegang kedaulatan, sementara presiden hanya buruh outsourcing 5 tahun.
Beberapa kritik tajam Cak Nun kepada penguasa saat ini antara lain tentang rencana pemindahan ibukota yang ia nilai sebagai rencana terlalu gegabah. Kemudian mengenai peran pemerintah yang seperti tidak ada untuk rakyatnya. Cak Nun juga menilai bahwa saat ini Indonesia sudah masuk darurat demokrasi. Â Â
Selain itu tentu saja sangat  banyak kritik Cak Nun lainnya terhadap pemerintah sebagai bentuk kepeduliannya terhadap negeri ini. Dalam negara demokrasi, kritikan adalah sebuah keniscayaan. Bukan sesuatu yang haram, walau pun faktanya tidak disukai oleh penguasa.
Kritikan-kritikan terhadap penguasa sesungguhnya baik untuk keseimbangan dan sebagai mekanisme kontrol supaya penguasa tidak kebablasan dalam membuat dan menjalankan kebijakan-kebijakannya. Kritikan-kritikan, dengan demikian diperlukan di negeri yang demokratis seperti Indonesia ini.
Orang-orang seperti Cak Nun perlu ada dan terus ada. Bahkan negeri ini kelihatannya butuh lebih banyak lagi Cak Nun lain. Susah memang, tapi perlu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H