Tujuan yang baik jika dilakukan dengan cara yang tidak baik, akan mengakibatkan sesuatu yang tidak baik. Salah satu bukti hal  tersebut adalah kasus "nasi  anjing" yang menjadi viral di media sosial. Kasus tersebut muncul pada hari Minggu dini hari, 26 April 2020 di sekitar masjid Babah alun-alun Warakas, Tanjung Priok Jakarta Utara.
Saya yakin si pemberi "nasi anjing" berniat baik. Mereka ingin berbagi kepada sesama, ingin meringankan beban orang-orang kecil yang terdampak wabah Corona, dan ingin menebar kebaikan di bulan suci.
Hanya saja cara yang mereka lakukan tidak baik. Dikatakan tidak baik bukan karena si pemberi "nasi anjing" membagi-bagikan nasi itu di jalanan. Tetapi memberi label nasi yang mereka bagikan itu dengan label "nasi anjing".
Kata "anjing" yang digandengkan setelah kata "nasi" untuk memberi label satu porsi nasi lengkap dengan lauk pauknya telah mengakibatkan persepsi yang tidak baik dan mengakibatkan warga penerima nasi bungkus itu merasa dilecehkan.Â
Maklum saja, warga penerima "nasi anjing" itu mayoritas beragama Islam. Sedangkan hewan bernama anjing dalam ajaran Islam adalah hewan yang dikategorikan najis dan diharamkan.
Oleh karena itu, sebagaimana dilansir https://megapolitan.kompas.com/ (27/04/2020) warga melaporkan kasus tersebut kepada polisi. Polisi menindaklanjuti laporan tersebut dengan memeriksa beberapa orang saksi dan menyita barang bukti. Polisi kemudian memeriksakan barang bukti itu ke laboratorium guna mengetahui isi lauk pauk di dalamnya.
Dari hasil pemeriksaan, diketahui bahwa isi lauk pauk "nasi anjing" itu sendiri bukanlah daging anjing, melainkan cumi, sosis daging sapi, dan teri. Kemudian diketahui pula bahwa pemberi "nasi anjing" itu adalah sebuah komunitas bernama ARK Qahal yang berpusat di Jakarta Barat.
Pemberi "nasi anjing" kemudian secara langsung mendatangi warga dan memberi klarifiikasi mengenai pemberian label "nasi anjing" dan logo kepala anjing yang ada dalam bungkus nasi.Â
Menurut mereka, hal itu untuk menggambarkan sifat anjing yang setia dan mampu bertahan di tengah kesulitan. Selain itu diberi label "nasi anjing" karena porsinya lebih besar sedikit dari "nasi kucing".
Klarifikasi dari pemberi "nasi anjing" memang cukup masuk akal, tetapi tidak pas. Hewan yang disimbolkan sebagai hewan setia tidak hanya anjing. Ada banyak hewan lain yang disimbolkan sebagai hewan setia, seperti merpati, angsa, atau penguin misalnya.
Mengapa harus "nasi anjing"? Padahal kalau pemberi nasi memberi label nasinya dengan "nasi angsa" atau "nasi merpati" misalnya, akan lebih memiliki makna mendalam dan memiliki nilai rasa yang baik. Bahkan mungkin sedikit lucu.
Saya menduga si pemberi "nasi anjing" memberikan label seperti itu juga untuk mengkontraskan dengan "nasi kucing" agar orang mudah mengingatnya. Sebagaimana kita maklum bahwa "nasi kucing" sudah familiar di telinga banyak orang sebagai "paket" nasi lengkap dengan lauk, Â sambal, dan tempe. Hanya porsinya kecil.
Semua orang tahu, dalam dunia binatang kucing dan anjing adalah dua legenda yang sangat familiar walaupun selalu saling bermusuhan, tidak pernah akur. Sewaktu orang mendengar kata "kucing", maka akan teringat pula kata "anjing". Begitupula sebaliknya.
Terlepas dari apa pun motif si pemberi "nasi anjing", kita harus bersyukur karena masih ada orang-orang yang memiliki kepedulian kepada sesamanya. Mereka melakukan aksi nyata dengan memberikan makanan siap santap yang memang dibutuhkan banyak warga.
Selain itu kasus "nasi anjing" juga harus menjadi sebuah pelajaran bagi kita semua bahwa memiliki niat atau maksud baik tidaklah cukup. Cara yang ditempuh atau dilakukan juga harus baik. Kalau tidak, maka akan berakibat seperti kasus tersebut. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H