Tahta tidak selalu berwujud kekuasaan atau jabatan yang paling tinggi. Tahta berarti juga sebuah representasi kekuasaan atau jabatan "di kelasnya". Seperti di kantor atau perusahaan ada banyak jabatan yang berbeda. Ada direktur, kepala bidang, kepala bagian, kepala seksi, dan sebagainya. Semua itu adalah "tahta" tetapi dengan level yang berbeda.
Keinginan memiliki "tahta" merupakan sesuatu hal yang wajar dan normal. Bahkan menurut David McLelland, keinginan berkuasa adalah salah satu kebutuhan manusia, yakni need for power (kebutuhan untuk berkuasa). Setiap manusia memiliki kebutuhan itu dalam dirinya dengan kadar yang berbeda.
Hal yang tidak wajar dan normal bukanlah keinginan memiliki "tahta" tetapi mewujudkan keinginannya itu dengan menghalalkan segala cara. Betapa banyak orang yang menginginkan jabatan idaman di tempat kerjanya dengan cara "menyikut" rekan kerjanya dengan fitnah misalnya.Â
Tidak sedikit pula orang yang mengincar jabatan idaman di tempat kerjanya dengan cara "menjilat" atasannya sedemikian rupa. Sehingga prestasi kerja rekan lain tertutup oleh "jilatan"nya. Â
Sejatinya untuk mendapatkan jabatan idaman bukan dengan cara fitnah atau "menjilat", tapi dengan menunjukkan prestasi kerja yang baik. Selain itu untuk mendapatkan jabatan idaman seharusnya orang juga "mengukur diri", bertanya kepada diri sendiri, apakah dirinya mampu atau tidak menduduki jabatan yang diinginkannya itu ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H