Hal tersebut antara lain karena di Jakarta, wilayah resapan air sudah sedemikian sempit dikarenakan permukaan tanah dipenuhi rumah pemukiman, gedung-gedung perkantoran, atau hamparan beton dan aspal.Â
Daerah lain yang wilayah resapan airnya relatif masih lebih luas dari Jakarta pun dan tidak biasa banjir, di awal tahun baru kemarin mengalami banjir besar. Ini sebagai bukti bahwa memang benar, curah hujan yang tinggi merupakan faktor dominan banjir besar yang melanda beberapa kota dan wilayah di awal tahun baru itu.
Masalah banjir barangkali tidak sepenuhnya bisa dikendalikan oleh pejabat yang bertanggung jawab di suatu wilayah, seperti DKI Jakarta misalnya. Anies baswedan sebagai orang nomor satu di DKI Jakarta tidak berhak disalahkan sepenuhnya karena tidak bisa menahan datangnya banjir.
Hal yang bisa diambil pertanggung jawaban dari Anies adalah "kelalaian" dalam antisipasi dampak banjir. Karena ada kesan bahwa pemerintah provinsi DKI agak lamban dan kurang antisipatif dalam penanggulangan akibat banjir di awal tahun baru itu.
Saling menyalahkan tentu tidak menjadi sebuah solusi. Banjir telah terjadi. Banyak korban banjir menanti kepedulian dari sesamanya. Selain itu dalam beberapa waktu ke depan kita akan berhadapan dengan bulan Februari-Maret, yang disebut oleh BMKG sebagai puncak musim hujan. Artinya ancaman atau potensi terjadinya banjir belum berakhir.
Banjir masih mungkin terjadi. Semoga para pejabat daerah lebih gesit, lebih peka, dan lebih maksimal lagi dalam mengantisipasi masalah banjir dan dampaknya. Termasuk dalam hal ini bagi orang nomor satu di DKI Jakarta, gubernur Anies Baswedan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H