Beberapa hari pasca terbentunya Kabinet Indonesia Maju, yang merupakan kabinet Presiden Jokowi Jilid II, kata "radikalisme" menjadi kata yang banyak diperbincangkan. Media massa, baik cetak maupun elektronik hampir tiap saat memberitakan, mengupas, dan membahas hal tersebut. Begitupula para politisi, para akademisi, tokoh agama, dan masyarakat umum juga turut mengomentari, dan tak sedikit yang mempersoalkannya.
Muasalnya adalah adanya beberapa pernyataan dari menteri agama yang baru, Jenderal TNI (Purn.) Fachrul Razi yang kontroversial. Seperti pernyataannya mengenai cadar dan celana cingkrang yang dikaitkan dengan radikalisme. Fachrul Razi memang begitu bersemangat bicara tentang radikalisme. Hal itu bisa dipahami sebab isu radikalisme menjadi visi Presiden Jokowi dan isu tersebut merupakan arahan dan pesan khusus Presiden Jokowi kepada dirinya sebagai menteri agama yang disampaikan waktu memperkenalkan para menteri Kabinet Indonesia Maju di tangga Istana Negara tanggal 23 Oktober 2019.
Bagi sebagian umat Islam isu radikalisme merupakan sesuatu yang sangat mengganggu dan membuat tidak nyaman. Sebab radikalisme seringkali diidentikan dengan Islam dan radikalisme terlanjur dipahami sebagai istilah yang berkonotasi negatif atau buruk. Padahal jika melihat kamus, kata radikalisme sebagai turunan kata "radikal" bersifat "netral" dan tidak terkait dengan masalah agama sama sekali. "Radikal" merupakan sebuah kata yang sering digunakan dalam kajian filsafat. Radikal berasal dari bahasa Latin radix, yang berarti berakar, mendalam, komprehensif, memiliki dasar yang kuat.
Cambridge Academic Content Dictionary menyebutkan bahwa "radikal" adalah "meyakini atau mengekspresikan keyakinan bahwa harus ada perubahan sosial, ekonomi, atau politik yang besar atau ekstrem" (Believing or expressing the belief that there should be great or extreme social, economic, or political change. "Radikal" juga disebutkan sebagai "seseorang yang mendukung perubahan besar dalam masalah sosial, ekonomi, atau politik" (a person who supports great social, economic, or political change).
Dalam Concise Oxford English Dictionary disebutkan bahwa kata "radikal" memiliki banyak arti. Antara lain, "radikal" disebutkan "berkaitan dengan atau mempengaruhi sifat dasar dari sesuatu. Inovatif atau progresif" (Relating to or affecting the fundamental nature of something. Innovative or  progressive). Ada juga kata "radikal" yang diartikan dengan "Mengadvokasi reformasi politik atau sosial yang menyeluruh; ekstrim secara politis" (Advocating thorough political or social reform; politically extreme).
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "radikal" mengandung arti "secara mendasar (sampai kepada hal prinsip); "amat keras menuntut perubahan"; dan "maju dalam berfikir atau bertindak". Sementara radikalisme dijelaskan sebagai "paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis".
Menurut Paul McLaughlin dalam bukunya Radicalism: A Philosophical Study menyatakan bahwa "radikal" atau "radikalisme" bisa dianggap sesuatu yang "baik" bisa juga dianggap sesuatu yang "buruk". "Radikal" atau "radikalisme" dianggap "baik" karena memiliki asosiasi/konotasi positif dengan progressif (berubah ke arah kemajuan; berhaluan ke arah perbaikan keadaan sekarang), adekuat (melangkah lebih jauh, cukup memadai) dan inovatif (bersifat memperkenalkan sesuatu yang baru; bersifat pembaruan/kreasi baru).
Sedangkan "radikal" atau "radikalisme" dianggap "buruk" karena memiliki asosiasi/konotasi negatif dengan ekstrimis/ekstrimisme (sangat keras/fanatik), revolusi/revolusianisme (perubahan yang dilakukan dengan kekerasan) , dan utopia/utopianisme (sistem yang sempurna yang hanya ada dalam khayalan dan sulit atau tidak mungkin diwujudkan dalam kenyataan).
Secara historis, radikalisme bermula di Inggris pada abad ke-18 sebagai sebuah gerakan politik. Pada tahun 1797, Charles James Fox mendeklarasikan suatu "pembaharuan radikal" dalam sistem pemilihan. Hal ini lalu membawa orang kepada pemikiran yang umum untuk mengidentifikasi semua gerakan yang mau melakukan pembaruan sebagai sebuah pembaharuan parlementaria. Hal itu adalah tindakan "radikal" kendati masih dalam batas-batas demokrasi yang sedang berlaku saat itu.
Dalam perkembangannya, penggunaan kata "radikal" atau radikalisme kemudian bergeser dan melebar ke masalah lain. Kata "radikal" atau radikalisme tidak hanya diterapkan dalam masalah sosial politik tapi juga bergeser ke masalah sosial keagamaan. Kemudian muncullah istilah radikalisme agama atau agama (tertentu) radikal. Setiap gerakan dari pemeluk agama tertentu yang melakukan gerakan atau upaya perubahan dengan cara kekerasan dan tanpa kompromi sering dicap sebagai gerakan atau kaum radikal.
Faktanya labelling "radikal" (dalam pengertian negatif/buruk), lebih sering dialamatkan kepada mereka yang menganut agama Islam dibanding kepada mereka yang beragama di luar Islam, walaupun level "kekerasan" yang dilakukan sama atau bahkan lebih parah. Ada kesan seolah-olah radikalisme itu khas Islam, identik dengan Islam. Labelling Radikalisme Islam atau Islam Radikal semakin mendapat justifikasi sejak adanya peristiwa serangan terhadap menara  kembar World Trade Center, 11 September 2001 yang dilakukan oleh kelompok militan Islam Al-Qaeda. Selain itu, tumbuh dan berkembangnya kelompok muslim "garis keras" di negara-negara muslim di Timur Tengah, sebagai perlawanan mereka terhadap perlakuan tidak adil, penyumbatan aspirasi politik, dan penindasan yang dilakukan oleh rezim otoriter, menjadi poin penguat bahwa Radikalisme Islam atau Islam Radikal benar adanya. Padahal tumbuh dan berkembangnya kelompok muslim "garis keras" itu "asap", bukan "api"; "akibat" bukan "sebab".
Menyematkan kata "radikal" (dalam pengertian negatif/buruk) terhadap agama merupakan sesuatu yang kontradiktif. Sebab agama tidak mengajarkan kepada pemeluknya untuk melakukan kekerasan. Sebaliknya, agama mengajarkan kasih sayang kepada pemeluknya. Terlebih lagi jika kata "radikal" digandengkan dengan "Islam", dua kata yang sangat kontradiksi. Sebab secara etimologis Islam memiliki arti, antara lain "kedamaian" dan "keselamatan". Bagaimana mungkin kekerasan (radikal) bisa bergandengan dengan kedamaian atau keselamatan (Islam).  Kalau lah ada umat Islam yang melakukan tindak kekerasan yang bersifat destruktif, maka si pelaku itulah yang diberi labelling "radikal" bukan Islamnya. Islam sebagai agama  tidak salah. Si pelaku itulah yang salah.
Ada hal menarik yang disampaikan Presiden Jokowi saat memimpin rapat terbatas dengan agenda Penyampaian Program dan Kegiatan di Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, di Kantor Presiden, Jakarta (31/10/2019). Saat itu Presiden melontarkan istilah lain sebagai pengganti radikalisme, yaitu "manipulator agama". Dalam konteks mendudukkan persoalan yang seharusnya bahwa pelaku tindak kekerasan yang bersifat destruktif itu oknum, bisa jadi penggunaan istilah "manipulator agama" cukup tepat. Tetapi penggunaan istilah baru itu tergantung kesepakatan bersama. Sebab bahasa itu bersifat arbitrer dan tergantung kesepakatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H