Menyematkan kata "radikal" (dalam pengertian negatif/buruk) terhadap agama merupakan sesuatu yang kontradiktif. Sebab agama tidak mengajarkan kepada pemeluknya untuk melakukan kekerasan. Sebaliknya, agama mengajarkan kasih sayang kepada pemeluknya. Terlebih lagi jika kata "radikal" digandengkan dengan "Islam", dua kata yang sangat kontradiksi. Sebab secara etimologis Islam memiliki arti, antara lain "kedamaian" dan "keselamatan". Bagaimana mungkin kekerasan (radikal) bisa bergandengan dengan kedamaian atau keselamatan (Islam).  Kalau lah ada umat Islam yang melakukan tindak kekerasan yang bersifat destruktif, maka si pelaku itulah yang diberi labelling "radikal" bukan Islamnya. Islam sebagai agama  tidak salah. Si pelaku itulah yang salah.
Ada hal menarik yang disampaikan Presiden Jokowi saat memimpin rapat terbatas dengan agenda Penyampaian Program dan Kegiatan di Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, di Kantor Presiden, Jakarta (31/10/2019). Saat itu Presiden melontarkan istilah lain sebagai pengganti radikalisme, yaitu "manipulator agama". Dalam konteks mendudukkan persoalan yang seharusnya bahwa pelaku tindak kekerasan yang bersifat destruktif itu oknum, bisa jadi penggunaan istilah "manipulator agama" cukup tepat. Tetapi penggunaan istilah baru itu tergantung kesepakatan bersama. Sebab bahasa itu bersifat arbitrer dan tergantung kesepakatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H