Mohon tunggu...
Wiwik Winarsih
Wiwik Winarsih Mohon Tunggu... Konsultan - Hati yang gembira adalah obat

Pekerja Lepas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saya Mau "New Normal" Tapi...

3 Juni 2020   10:55 Diperbarui: 3 Juni 2020   10:59 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semenjak daerah kami dinyatakan sebagai daerah merah pandemi Covid-19 gerbang perumahan kami putuskan ditutup untuk mengurangi lalu lalang orang terutama penjual keliling. Sebelumnya gerbang dibiarkan terbuka karena toh episentrum Covid-19 masih jauh dari rumah. Rasanya ini sudah lama sekali kami praktikkan walaupun kenyataannya baru dua bulan. Jalan depan rumah menjadi sunyi. Tetapi tiba-tiba kemaren saya dikejutkan suara khas penjual bakso keliling yang sudah lama tidak saya dengar..ting ting ting.. Pikiran pertama yang muncul dibenak saya bagaimana penjual itu bisa masuk komplek? Ketika saya bertanya penjual bakso itu mengatakan membuka sendiri pintu gerbang yang memang tidak dikunci. Katanya "Boleh jualan kan bu? Sudah lama saya tidak keliling" Dan saat saya melihat wajahnya dan sepertinya memang sudah lama dia tidak berjualan ternyata saya tidak bisa protes apa-apa...kasihan.

Apakah Saya Mau "New Normal"?

Apabila di tanya apakah saat ini saya mau adaptasi protokol new normal? Dengan berat hati saya katakan iya.. Pilihan mengadaptasi "new normal" saat pandemi Covid-19 ini rasanya menjadi pilihan yang harus diambil. Apabila hanya memperhatikan kepentingan sendiri mungkin tetap di rumah saja sampai beberapa bulan mendatang adalah pilihan aman. Tetapi apabila memperhatikan pilihan si tukang bakso di atas agak sulit membiarkannya tidak bekerja sampai beberapa bulan mendatang. Walaupun bisa jadi dia termasuk orang yang mendapat bantuan sosial, tentu lama-lama bantuan itu tidak lagi mencukupi kebutuhan sehar-hari dan sampai kapan membiarkannya tidak produktif.

Saat ini bagaian terberat bertahan dari virus Covid-19 adalah menahan diri. Setiap memiliki rencana baru harus ditunda dulu sampai keadaan aman dari virus. Jangan katakan toh saat ini semua bisa dilakukan secara daring? Keterbatasan ruang gerak sangat terasa saat ini. Perjumpaan antar manusia, keakraban pandangan mata tetap tidak bisa digantikan oleh perjumpaan daring. Tidak salah apabila hasil penelitian KPAI mengatakan anak-anak saat ini sudah rindu kembali ke sekolah.

Perasaan tidak produktif juga menghantui saat ini. Saat lebaran virtual kemaren salah seorang teman mengatakan sudah mulai malu dengan bos nya karena sudah tidak bekerja selama 2 bulan tetapi tetap di gaji (walaupun tidak menerima THR tetapi dia masih bersyukur). Yang dia kuwatirkan sampai kapan bos nya bisa memberinya gaji! Bagi yang punya bos negara (PNS) atau bos-bos perusahaan besar mungkin tidak melihat langsung gaji itu datangnya dari mana. Tetapi bagi para pengerak UMKM dan para usahawan yang langsung mengerakkan ekonomi, yang melihat kapan uang datang dan kapan uang mengalir keluar dari kas nya, keadaan saat ini tentu sangat berat bagi mereka.

Selama masa pandemi Covid-19 ini waktu serasa berhenti dan dunia hanya berputar di sekitar rumah. Segala sesuatu dilakukan di rumah. Waktu yang ternyata baru tiga bulan ini terasa begitu lama. Di awal masa pandemi kesibukan masih bisa diisi dengan mencari informasi tentang korona, kemudian beralih ke upaya melindugi keluarga dan lingkungan terdekat dengan membiasakan perlikaku baru. Mencari masker, membiasakan memakai masker, menyiapkan tempat cuci tangan dan sabun di halaman rumah, membiasakan diri cuci tangan dan mengatur ulang seluruh kegiatan sehari-hari agar tidak perlu terlalu sering keluar rumah. Bahkan akhirnya tarawih dan berlebaran pun dilakukan di rumah.

Tetapi setelah itu semua apa? Bagaimanapun tidak mungkin bersembunyi terus dari virus ini. Tidak semua orang beruntung memiliki persediaan yang cukup untuk menopang kehidupan sehari-hari. Anak-anak sudah menunjukkan gejala bosan hanya bisa bermain sepeda di halaman saja. Ini semua harus dicarikan jalan keluarnya sebelum lebih banyak orang menjadi tidak waras. Menerapkan budaya baru, kenormalan baru, "new normal", harus diupayakan. Karena adaptasi "new normal" tidak sama dengan menyerahkan diri agar tertular Covid-19.

Saya Mau "New Normal" Tapi...

Yang paling menakutkan dari "new normal"adalah saat kebanyakan orang berpikir keadaan saat ini sudah kembali normal. Keadaan sudah normal seperti sediakala karena pasar sudah buka, mall sudah buka, restoran sudah buka. Tempat umum yang beberapa bulan ini tutup sudah akan mulai di buka lagi. Dan karena terlalu semangat membicarakan mall yang akan di buka lagi, saat membicarakan "new normal" orang bisa lupa menyebut protokol kesehatan. Apabila di kelompok pembicaraan itu tidak ada yang berinisiatif tetap berhati-hati, mengatakan kalimat tetap memakai masker bisa saja terlupakan!

Bagaimana bisa terjadi? Sebagian besar pemberitaan masih memakai frasa "new normal" dalam narasi beritanya. Mungkin karena belum ada diksi yang pas untuk terjemahan "new normal" ke Bahasa Indonesia. Yang sering dipakai adalah kenormalan baru. Kementerian Kesehatan menyebutkan dengan istilah adaptasi perubahan pola hidup baru. Terlalu panjang. Tidak salah apabila akhirnya yang terdengar adalah yang bagian ujungnya saja, normal. Dan kemudian orang berkesimpulan keadaan sudah normal. Apakah mungkin itu terjadi? Bagaimana tidak mungkin. Berita Presiden Jokowi memeriksa kesiapan pembukaan kembali Mall di Bekasi saja bisa berubah menjadi Presiden Membuka Mall Baru!

Informasi, Kau Ada Di Mana?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun