Semenjak daerah kami dinyatakan sebagai daerah merah pandemi Covid-19 gerbang perumahan kami putuskan ditutup untuk mengurangi lalu lalang orang terutama penjual keliling. Sebelumnya gerbang dibiarkan terbuka karena toh episentrum Covid-19 masih jauh dari rumah. Rasanya ini sudah lama sekali kami praktikkan walaupun kenyataannya baru dua bulan. Jalan depan rumah menjadi sunyi. Tetapi tiba-tiba kemaren saya dikejutkan suara khas penjual bakso keliling yang sudah lama tidak saya dengar..ting ting ting.. Pikiran pertama yang muncul dibenak saya bagaimana penjual itu bisa masuk komplek? Ketika saya bertanya penjual bakso itu mengatakan membuka sendiri pintu gerbang yang memang tidak dikunci. Katanya "Boleh jualan kan bu? Sudah lama saya tidak keliling" Dan saat saya melihat wajahnya dan sepertinya memang sudah lama dia tidak berjualan ternyata saya tidak bisa protes apa-apa...kasihan.
Apakah Saya Mau "New Normal"?
Apabila di tanya apakah saat ini saya mau adaptasi protokol new normal? Dengan berat hati saya katakan iya.. Pilihan mengadaptasi "new normal" saat pandemi Covid-19 ini rasanya menjadi pilihan yang harus diambil. Apabila hanya memperhatikan kepentingan sendiri mungkin tetap di rumah saja sampai beberapa bulan mendatang adalah pilihan aman. Tetapi apabila memperhatikan pilihan si tukang bakso di atas agak sulit membiarkannya tidak bekerja sampai beberapa bulan mendatang. Walaupun bisa jadi dia termasuk orang yang mendapat bantuan sosial, tentu lama-lama bantuan itu tidak lagi mencukupi kebutuhan sehar-hari dan sampai kapan membiarkannya tidak produktif.
Saat ini bagaian terberat bertahan dari virus Covid-19 adalah menahan diri. Setiap memiliki rencana baru harus ditunda dulu sampai keadaan aman dari virus. Jangan katakan toh saat ini semua bisa dilakukan secara daring? Keterbatasan ruang gerak sangat terasa saat ini. Perjumpaan antar manusia, keakraban pandangan mata tetap tidak bisa digantikan oleh perjumpaan daring. Tidak salah apabila hasil penelitian KPAI mengatakan anak-anak saat ini sudah rindu kembali ke sekolah.
Perasaan tidak produktif juga menghantui saat ini. Saat lebaran virtual kemaren salah seorang teman mengatakan sudah mulai malu dengan bos nya karena sudah tidak bekerja selama 2 bulan tetapi tetap di gaji (walaupun tidak menerima THR tetapi dia masih bersyukur). Yang dia kuwatirkan sampai kapan bos nya bisa memberinya gaji! Bagi yang punya bos negara (PNS) atau bos-bos perusahaan besar mungkin tidak melihat langsung gaji itu datangnya dari mana. Tetapi bagi para pengerak UMKM dan para usahawan yang langsung mengerakkan ekonomi, yang melihat kapan uang datang dan kapan uang mengalir keluar dari kas nya, keadaan saat ini tentu sangat berat bagi mereka.
Selama masa pandemi Covid-19 ini waktu serasa berhenti dan dunia hanya berputar di sekitar rumah. Segala sesuatu dilakukan di rumah. Waktu yang ternyata baru tiga bulan ini terasa begitu lama. Di awal masa pandemi kesibukan masih bisa diisi dengan mencari informasi tentang korona, kemudian beralih ke upaya melindugi keluarga dan lingkungan terdekat dengan membiasakan perlikaku baru. Mencari masker, membiasakan memakai masker, menyiapkan tempat cuci tangan dan sabun di halaman rumah, membiasakan diri cuci tangan dan mengatur ulang seluruh kegiatan sehari-hari agar tidak perlu terlalu sering keluar rumah. Bahkan akhirnya tarawih dan berlebaran pun dilakukan di rumah.
Tetapi setelah itu semua apa? Bagaimanapun tidak mungkin bersembunyi terus dari virus ini. Tidak semua orang beruntung memiliki persediaan yang cukup untuk menopang kehidupan sehari-hari. Anak-anak sudah menunjukkan gejala bosan hanya bisa bermain sepeda di halaman saja. Ini semua harus dicarikan jalan keluarnya sebelum lebih banyak orang menjadi tidak waras. Menerapkan budaya baru, kenormalan baru, "new normal", harus diupayakan. Karena adaptasi "new normal" tidak sama dengan menyerahkan diri agar tertular Covid-19.
Saya Mau "New Normal" Tapi...
Yang paling menakutkan dari "new normal"adalah saat kebanyakan orang berpikir keadaan saat ini sudah kembali normal. Keadaan sudah normal seperti sediakala karena pasar sudah buka, mall sudah buka, restoran sudah buka. Tempat umum yang beberapa bulan ini tutup sudah akan mulai di buka lagi. Dan karena terlalu semangat membicarakan mall yang akan di buka lagi, saat membicarakan "new normal" orang bisa lupa menyebut protokol kesehatan. Apabila di kelompok pembicaraan itu tidak ada yang berinisiatif tetap berhati-hati, mengatakan kalimat tetap memakai masker bisa saja terlupakan!
Bagaimana bisa terjadi? Sebagian besar pemberitaan masih memakai frasa "new normal" dalam narasi beritanya. Mungkin karena belum ada diksi yang pas untuk terjemahan "new normal" ke Bahasa Indonesia. Yang sering dipakai adalah kenormalan baru. Kementerian Kesehatan menyebutkan dengan istilah adaptasi perubahan pola hidup baru. Terlalu panjang. Tidak salah apabila akhirnya yang terdengar adalah yang bagian ujungnya saja, normal. Dan kemudian orang berkesimpulan keadaan sudah normal. Apakah mungkin itu terjadi? Bagaimana tidak mungkin. Berita Presiden Jokowi memeriksa kesiapan pembukaan kembali Mall di Bekasi saja bisa berubah menjadi Presiden Membuka Mall Baru!
Informasi, Kau Ada Di Mana?
Bagaimana agar adaptasi protokol new normal segera diadopsi oleh banyak orang? Belajar dari pengalaman mencari informasi saat awal pandemi nampaknya informasi yang mudah diakses dari pihak yang terpercaya adalah kunci agar terjadi perubahan perilaku.
Kembali ke cerita tukang bakso di atas. Saat saya bilang boleh berjualan tetapi tetap harus memakai masker, si abang bakso itu tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Dia tidak mengatakan iya tetapi juga tidak membantah. Reaksinya menunjukkan seolah-olah itu bukan urusannya. Saya tidak yakin dia tidak pernah mendengar mengapa harus memakai masker. Saya hampir yakin dia memiliki handphone yang minimal bisa mengakses Youtube yang biasa dia gunakan untuk menikmati lagu-lagu almarhum The God Father of Broken Heart. Menjadi sobat ambyar. Tetapi memang seperti itulah cara kerja internet yang hanya akan memunculkan sesuatu yang sering dicari oleh penggunanya.
Oleh karena itu pihak yang berwenang atau media masa utama perlu membombardir jalur informasi dengan sebanyak-banyaknya informasi tentang protokol new normal. Saat ini agak disayangkan, katanya orang Indonesia suka sekali nonton televisi tetapi begitu sedikit informasi tentang "new normal" di telivisi. Stasiun televisi khusus berita tentu saja sudah membahas habis tentang pandemi Covid-19 sampai dengan isu terbarunya yaitu adaptasi "new normal". Karena itu memang jualannya. Tetapi berapa banyak yang menonton televisi jenis ini? Kebanyakaan orang lebih suka menonton televisi hiburan.
Ada beberapa televisi yang menyediakan iklan layanan terkaid Covid-19 tetapi tidak update. Masih ada yang menyiarkan agar tidak memborong sembako, masker atau hand sanitaizer. Info ini benar tetapi hanya bermanfaat disiarkan saat awal pandemi dulu. Ada yang masih menyiarkan iklan layanan agar tidak mudik saat sekarang sudah arus balik.
Kebutuhan informasi sudah berubah saat ini. Alangkah akan sangat membantu apabila di seluruh televisi hiburan di Indonesaia setiap 2 jam sekali ada informasi tentang adaptasi protokol new normal. Disiarkan terus-menerus sampai bahkan orang yang menonton televisi sambil ngobrolpun akhirnya mendapat informasi yang lengkap dan hapal isi beritanya. Masa Pemerintah tidak bisa memaksa stasiun televisi menyiarkan hal-hal seperti ini? Masa para pengelola stasiun televisi tidak bersedia membuat iklan layanan masyarakat untuk kejadian yang up to date yang menyangkut kepentingan masyarakan luas?
Bergerak Bersama-Sama
Sudah menjadi sifatnya orang merasa senang menjadi bagian dari sesuatu. Itulah mengapa orang berpartisipasi. Bagaimana kalau watunya sedikit dan mendesak? Maka diperlukan mobilisasi. Tokoh-tokoh panutan harus dilibatkan untuk mengajak pengikutnya melakukan protokol kesehatan. Ketua RT adalah ujung tombak untuk memastikan semua warganya mematuhi protokol kesehatan. Tidak terlalu sulit memobilisasi orang saat ini. Saya yakin lebih banyak RT yang telah memiliki grup WhatsApp dari pada yang tidak memiliki. Apabila sampai tanggal 5 Juni nanti yang katanya mall akan dibuka lagi tetapi tidak ada upaya mobilisasi agar orang tertib mematuhi protokol kesehatan, gelombang kedua serangan virus Covid-19 rasanya tidak terhindarkan lagi.
Semoga tidak banyak yang lupa hasil penelitian awal pandemi Covid-19 yang mengatakan orang Jepang terlindungi dari virus korona karena mereka tidak bersalaman dan terbiasa memakai masker jauh sebelum adanya virus korona. Semua orang Jepang melakukan itu karena sudah menjadi budaya. Sama dengan adapatasi "new normal" ini. Apabila semua orang melakukan bersama-sama akan menjadi gelombang besar perilaku baru dan meniadakan perilaku yang bertentangan dengan adaptasi "new normal". Apabila si abang bakso itu masuk gelombang besar ini maka memakai masker menjadi wajar baginya.
Epiloq
Saat berlebaran virtual dengan seorang teman yang tinggal di Kota Surabaya mengatakan walaupun di Jawa Timur kasus positif Covid-19 meningkat tajam tetapi di Surabaya tidak ada penambahan kasus. Teman saya itu bahkan membicarakannya dengan rasa syukur. Tepapi beberapa hari ini saluran berita dibombardir dengan pembicaraan jumlah kasus positif Covid-19 yang meningkat tajam di Surabaya. Yang membuat lega para pejabat di Surabaya tidak menjawab berita ini dengan bantahan tetapi menunjukkan langkah-langkah yang dilakukan untuk mengurangi kasus positif. Entah apa maksud pemberitaan yang besar-besaran ini tetapi apabila menghendaki warga masyarakat waspada dengan memberitakan ketakutan, cara ini sudah tidak mempan lagi. Yang diperlukan masyarakat bukan rasa takut tetapi cara mengantisipasi pandemi ini. Memberikan informasi sebanyak-banyaknya bagaimana berdampingan dengan virus ini dan dan hidup dengan budaya kesehatan baru yang mungkin tetap harus dipraktekkan bahkan sampai satu atau dua tahun mendatang.
Catatan:
Bagi yang masih bertanya apa itu "new normal"? Istilah ini muncul karena selama pandemi Covid-19 untuk menjaga diri agar tidak tertular virus korona, manusia di seluruh bumi memiliki kebiasaan baru yang dulu dianggap tidak normal tetapi sekarang harus dibiasakan. Karena sudah jamak diterapkan akhirnya di sebut suatu kenormalan baru, new normal. Kadang-kadang  adaptasi "new normal" didampingkan dengan protokol kesehatan atau protokol new normal. Apa saja itu? Menjaga jarak antar manusia 1 - 2 meter, tidak bersalaman (ini agak berat bagi orang Indonesia karena sepertinya bersalaman itu sudah mendarah daging, tetapi harus ditaati), memakai masker, sering mencuci tangan dengan sabun selama 30 detik dengan air yang mengalir dan apabila batuk menutup mulut dengan lengan (bukan dengan telapak tangan). Apabila sakit dengan gejala Covid-19 disarankan langsung memeriksakan diri ke rumah sakit yang di tunjuk. Apabila di tranportasi umum diminta tidak bercakap-cakap dengan orang asing (ini juga agak berat bagi orang Indonesia yang katanya memiliki kepribadian hangat dan suka mengobrol, tetapi tetap harus ditaati) dan dilarang menggunakan telepon seluler. Selalu membawa tisu basah, hand sanitaizer, membawa perlengkapan makan minum dan perlengkapan ibadah pribadi, membawa desinfektan bagi sopir ojek online dsb. Detail penerapan adaptasi protokol new normal bisa dilihat di situs Gugus Tugas Covid-19 atau Kementerian Kesehatan. Salam Sehat Selalu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H