Mohon tunggu...
Wiwik Winarsih
Wiwik Winarsih Mohon Tunggu... Konsultan - Hati yang gembira adalah obat

Pekerja Lepas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Cerita Toa, Ketika Ibu Kota Ingin Kembali ke Masa Lampau

20 Januari 2020   18:51 Diperbarui: 21 Januari 2020   17:54 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari iklan itu Pemerintah Korea Selatan sengaja memperlihatkan dan mempertahankan nilai-nilai lama yang esensial sambil menambahkan hal-hal baru yang membuat karya seni dapat duduk dengan pas di tengah kemajuan zaman dan kemajuan teknologi di Korea.

Traditional yet feel modern. Tag ini seperti menjawab apa yang kurang dari rencana Jakarta memakai toa sebagai peringatan darurat banjir, yaitu rasa modernnya.

Sejak awal mendengar rencana Jakarta memakai toa terasa ada sesuatu yang kurang. Pertanyaan yang umum di banyak kalangan apa iya Jakarta akan memakai toa?

Sepertinya alat ini kemudian mewakili gambaran orang bebal yang harus dibangunkan dengan suara yang sangat keras untuk bisa bangun. Dan kemudian yang muncul di benak saya adalah betapa kunonya alat ini. Itu saja.

Tidak ada sentuhan tambahan selain hanya akan digunakan sebagai peringatan bahaya bahkan terasa janggal dipraktekkan di ibukota sebuah negara, yang bagaimanapun sudah mencicipi kemajuan teknologi modern. 

Memang praktis, tetapi apakah ibu kota kita akan seperti itu? Anak-anak zaman sekarang akan mengatakan feelnya ngga dapet.

Peringatan tanda bahaya yang paling kuno adalah kentongan yang sudah dipraktekkan dari zaman Majapahit. Apabila sudah membaca novel seri Majapahit karya Langit Kresna Hariadi bisa dibayangkan betapa terstrukturnya sistem kentongan saat itu, bahkan dapat terasa "manajemennya". 

Tentu saja Majapahit tidak bisa menguasai sampai Negeri Campa apabila Gadjah Mada memakai manajemen yang ecek-ecek.

Saat kuliah saya tinggal di asrama putri yang ada jam malamnya. Ketika pukul 8 Penjaga Malam akan menabuh lonceng dari besi peninggalan zaman Belanda yang suaranya nyaring. Suaranya cukup keras sehingga terdengar sampai agak jauh ke rumah-rumah di kampung sekitar asrama.

Tidak ada yang keberatan dengan suara lonceng itu karena khas dan bagaimanapun merdu. Entah karena desain yang istimewa atau bahan yang terpilih. 

Suara lonceng itu akhirnya terkenal dan warga sekitar asrama juga ikut menjadikan sebagai penanda, ketika lonceng itu ditabuh berarti sudah pukul 8 malam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun