Mohon tunggu...
Wiwik Winarsih
Wiwik Winarsih Mohon Tunggu... Konsultan - Hati yang gembira adalah obat

Pekerja Lepas

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tentang Anggaran Lem 82 Milyar di DKI

1 November 2019   19:45 Diperbarui: 4 Januari 2020   18:15 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru saja kita dikejutkan dengan berita yang mengatakan belanja lem di RAPBD DKI Jakarta sampai dengan 82 milyar. Kok besar ya...

Menurut keterangan pers dari salah Suku Dinas Pendidikan di DKI mengatakan itu adalah hasil rekapitulasi dari RKAS (Rencana Kerja dan Anggaran Sekolah) dari seluruh sekolah di DKI dan  kemudian banyak pihak dari Pemerintah DKI mengatakan angka itu tidak benar. Kalau tidak benar kok sampai ke rapat anggaran di DPRD DKI?

Apabila masalah ini di bahas dengan prasangka baik bisa jadi sekolah memang perlu belanja lem ini misalnya untuk keperluan praktikum siswanya. Mengapa bisa begitu besar? karena mungkin contoh yang diberikan saat mengikuti pelatihan guru adalah praktik yang menggunakan lem sehingga di contoh lagi untuk praktikum hampir di seluruh sekolah.

Kejadian serupa pernah ada, saat ada contoh praktikum gunung meletus beberapa tahun lalu. Saat itu memang ada beberapa gunung berapi meletus secara hampir bersamaan. Dan mungkin sekolah di seluruh Indonesia dari Sabang sampai Merauke mengagendakan praktikum ini untuk siswanya sehingga banyak sekolah membutuhkan belanja cat merah untuk mengambarkan tumpahan lahar. Bisa dibanyangkan betapa besar belanja cat merah saat itu.

Apabila dibahas dengan prasangka buruk, terdapat beberapa skenario yang bisa dibanyangkan. Satu, sekolah menyusun RKAS tidak dengan prosedur yang seharusnya yaitu dengan melibatkan pendapat guru, orang tua murid, siswa-siswa, komite sekolah ataupun masyarakat yang terkait dengan sekolah. RKAS disusun oleh kepala sekolah hanya dengan orang-orang dekatnya yang terpercaya. 

Kedua, Kepala sekolah mungkin cenderung hanya bertanya, atau mencotoh RKAS dari salah satu kepala sekolah yang biasanya dianggapnya "pintar", yaitu kepala sekolah yang biasanya sudah mendapat pelatihan entah dari propinsi atau dari Kementerian Pendidikan. Dan mencotoh ini biasanya dilakukan secara harfiah, mencontoh bahkan dari titik dan komanya. Jadilah RKAS yang agak-agak seragam di sekolah seluruh DKI.

Prasangka buruk ketiga adalah petugas yang melakukan rekapitulasi RKAS berpikir RKAS sekolah itu sama-sama saja sehingga yang dimasukkan angka yang seragam untuk banyak sekolah. Sebenarnya pemikiran seperi ini berbahaya. Apabila pemikiran seperti ini terjadi di Dinas Pendidikan hal ini menggambarkan masih ada staf di Dinas Pendidikan yang tidak mengerti arti MBS (Menejemen Berbasis Sekolah) dan mengapa saat ini sekolah menjalankan MBS.  Apabila pemikiran seperti ini terjadi di staf pemerintah daerah terutama pengelola keuangan daerah hal ini menunjukkan masih ada staf di bagian keuangan daerah yang tidak memahami fungsi rencana anggaran yang harusnya digunakan untuk kontrol belanja.

Apabila ada pemimpin daerah yang mengatakan toh itu masih berupa rencana yang nantinya akan dibicarakan lagi detail-detailnya dengan legislatif. Sebagai masyarakat saya agak kuatir apabila ternyata rapat-rapat di legislatif hanya membicarakan hal-hal remeh temeh seperti salah memasukan item anggaran dari pada membicakan hal-hal yang lebih esensial seperti diskusi hebat tentang merencanakan program yang lebih baik  untuk pendidikan yang lebih maju.

Saat keterangan pers itu, staf Suku Dinas Pendidikan menjelaskan mengapa anggaran lem menjadi sangat besar karena sekolah terlambat memasukan RKAS sehingga rekapitulasi anggaran dilakukaan seadanya. Mengapa sekolah terlambat memasukkan RKAS?  Prasangka buruknya lagi adalah karena sistem yang tidak pasti dan sosialisasi yang multi tafsir menyebabkan sekolah terlambat memasukkan RKAS ke pengelola dana BOS atau pengelola anggaran DKI yang menyebabkan petugas melakukan rekapitulasi berdasar yang sudah masuk ke kantornya dan RKAS dari sekolah yang belum masuk di salinkan saja dari yang sudah dipegangnya. Jadilah sekali lagi RKAS yang agak-agak seragam.

Apa yang bisa dipelajari dari kejadian ini? Sekelas DKI Jakarta sebagai ibu kota negara (saat ini DKI Jakarta masih ibu kota negara kan?) komunikasi antara pemerintah propinsi dengan sekolah bisa sangat tidak nyambung padahal tentu saja di ibu kota mestinya tidak ada lagi hambatan karena tidak tersedia alat-alat komunikasi. Jadi komunikasi itu tidak tergantung alat, selama dilakukan dengan seksama pesannya akan tetap sampai. Kedua, betapa di DKI Jakarta yang penduduknya memiliki tingkat pendidikan dan pengetahuan yang lebih tinggi dibandingkan daerah lain tenyata partisipasi ataupun kontrol masyarakat terhadap pelayanan publik terutama di sekolah masih sangat tipis.

(Ditulis 1 Nopember 2019, diperbaharui 4 Januari 2020)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun