Maraknya kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa merupakan fenomena yang semakin mencemaskan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Dari beberapa sumber dapat di;ihat, kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa di Indonesia selama periode 2023-2024 menunjukkan peningkatan yang signifikan, mencerminkan adanya masalah mendalam terkait tekanan sosial, akademis, serta kesehatan mental di kalangan anak muda.
Menurut Kementerian Kesehatan, dalam kurun waktu 2023 hingga pertengahan 2024, diperkirakan ada sekitar 20-25 kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa yang dilaporkan ke pihak universitas atau media. Namun, angka sebenarnya bisa lebih tinggi karena tidak semua kasus dilaporkan secara terbuka.
Fenomena ini tidak hanya menyisakan luka mendalam bagi keluarga dan teman, tetapi juga mengungkap adanya masalah sosial yang lebih kompleks. Dari perspektif sosiologis, bunuh diri di kalangan mahasiswa dapat dipandang sebagai hasil interaksi antara berbagai faktor sosial, budaya, ekonomi, dan psikologis. Melalui tinjauan yang lebih mendalam, kita bisa memahami bahwa kasus-kasus ini bukan hanya tragedi individu, melainkan juga cerminan dari ketidakseimbangan dalam struktur sosial dan ekspektasi yang membebani kaum muda.
1. Tekanan Akademis yang Menjepit: Konsekuensi dari Budaya Meritokrasi
Dalam dunia pendidikan tinggi, meritokrasi -- atau keyakinan bahwa kesuksesan individu ditentukan oleh kemampuan dan usaha -- menjadi prinsip utama. Mahasiswa dituntut untuk berprestasi dalam segala aspek, baik akademik maupun non-akademik. Sistem pendidikan modern sering kali menekankan pencapaian akademis sebagai tolok ukur utama keberhasilan hidup. Dalam konteks ini, mahasiswa yang gagal memenuhi standar tersebut merasa tertekan, dan tidak jarang menginternalisasi kegagalan mereka sebagai cerminan dari ketidakberhargaan diri.
Dari sudut pandang sosiolog Emile Durkheim, kondisi ini bisa memicu bunuh diri egoistik, di mana individu merasa terisolasi dari masyarakat karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan ekspektasi sosial. Dalam kasus mahasiswa, kegagalan dalam mencapai prestasi akademis tidak hanya berdampak pada pencitraan diri, tetapi juga mempengaruhi hubungan sosial dan dukungan emosional yang mereka peroleh.
Tekanan akademis ini semakin diperparah oleh tuntutan untuk terus-menerus bersaing, baik di dalam kelas maupun di luar lingkungan akademik. Budaya kompetitif yang terbentuk sering kali menciptakan rasa cemas, frustasi, dan kelelahan mental di kalangan mahasiswa. Mereka yang tidak mampu beradaptasi dengan ritme kompetisi ini rentan mengalami depresi dan merasa terjebak dalam lingkaran tekanan yang tak berujung.
2. Disintegrasi Sosial dan Keterasingan Emosional
Salah satu faktor kunci yang meningkatkan risiko bunuh diri di kalangan mahasiswa adalah disintegrasi sosial. Mahasiswa yang pindah dari lingkungan keluarga dan sahabat lama ke lingkungan baru, seperti universitas, sering kali mengalami kesulitan dalam membangun kembali jaringan sosial. Kesepian, keterasingan, dan perasaan tidak terhubung dengan lingkungan baru menjadi pemicu kuat terjadinya depresi dan masalah kesehatan mental lainnya.