Dalam beberapa tahun terakhir, istilah "Cancel Culture" telah menjadi sangat populer di Indonesia dan dunia. Cancel Culture merujuk pada fenomena di mana seseorang---biasanya figur publik---dihukum secara sosial karena melakukan tindakan atau ucapan yang dianggap tidak pantas oleh publik.Â
Sanksinya sering kali berupa boikot, kritik masif di media sosial, hingga pemutusan hubungan kerja atau kontrak dengan pihak-pihak yang terlibat. Salah satu kasus yang pernah mengemuka di Indonesia adalah Raffi Ahmad, salah satu selebriti papan atas yang terkena dampak dari budaya "cancel" ini.
Cancel Culture di Indonesia, seperti halnya di banyak negara lain, terutama didorong oleh kekuatan media sosial. Figur publik yang berada dalam sorotan sering kali menjadi target utama karena tindakan atau perkataan mereka dapat dengan cepat dinilai oleh masyarakat luas. Fenomena ini memiliki aspek positif dan negatif.Â
Di satu sisi, Cancel Culture dianggap sebagai bentuk tanggung jawab sosial kolektif, di mana masyarakat dapat menuntut akuntabilitas dari figur publik yang melakukan kesalahan. Di sisi lain, Cancel Culture juga bisa menjadi tidak adil dan kejam, karena orang yang bersangkutan mungkin tidak memiliki kesempatan untuk memperbaiki kesalahan mereka sebelum diadili oleh opini publik.
Pada awal tahun 2021, Raffi Ahmad terlibat dalam kontroversi setelah menghadiri sebuah pesta tanpa mematuhi protokol kesehatan, tepat setelah dirinya menerima vaksin COVID-19.Â
Insiden ini memicu reaksi keras dari publik, terutama karena Raffi dianggap sebagai figur publik yang seharusnya memberikan contoh yang baik dalam mematuhi aturan selama pandemi. Setelah foto dirinya di pesta tersebut tersebar di media sosial, banyak netizen yang menyerangnya dengan kritik tajam, bahkan hingga mengajak untuk memboikotnya dari dunia hiburan.
Meskipun Raffi Ahmad dengan cepat memberikan permintaan maaf secara terbuka dan menjelaskan duduk perkaranya, tekanan dari masyarakat tidak langsung mereda. Beberapa netizen menyuarakan ajakan untuk memboikot acara-acara yang dipandunya. Situasi ini menggambarkan dengan jelas bagaimana Cancel Culture bekerja di era digital saat ini: sebuah tindakan yang viral bisa memicu reaksi sosial secara cepat dan luas.
Pada tahun 2024, Cancel Culture kembali menjadi sorotan di Indonesia setelah Raffi Ahmad, salah satu selebriti papan atas, terlibat dalam kontroversi terkait sikap politiknya yang pro terhadap pemerintah saat ini. Sebagai salah satu figur publik dengan jumlah pengikut media sosial yang sangat besar, keputusan Raffi untuk secara terbuka mendukung kebijakan pemerintah memicu gelombang reaksi dari berbagai kalangan, termasuk penggemarnya.
Followers Raffi Ahmad  di dunia nomor 55 terbanyak di Asia Tenggara, dari 70 juta followers, banyak yang mengunfollow. Fenomena ini tidak hanya mempengaruhi citra Raffi secara keseluruhan, tetapi juga berujung pada unfollow massal di media sosial.
Sikap Politik dan Efek Unfollow Massal
Di tengah memanasnya situasi politik pada tahun 2024, Raffi Ahmad secara terbuka menunjukkan dukungannya terhadap kebijakan tertentu dari pemerintah. Dukungan ini dilihat oleh beberapa kalangan sebagai langkah kontroversial, terutama karena situasi politik yang sangat terpolarisasi.Â
Banyak penggemar Raffi yang merasa kecewa dengan posisinya tersebut, terutama mereka yang tidak sepakat dengan kebijakan yang ia dukung. Hal ini menyebabkan sejumlah besar pengikut media sosialnya memutuskan untuk berhenti mengikuti akun-akunnya.
Menurut data yang diambil dari platform Twitter, Instagram, dan TikTok, setelah Raffi Ahmad memposting dukungannya terhadap pemerintah pada Januari 2024, terjadi penurunan drastis dalam jumlah pengikutnya.Â
Dalam waktu seminggu setelah postingan tersebut, Raffi kehilangan sekitar 300.000 pengikut di Instagram, 150.000 pengikut di Twitter, dan 100.000 pengikut di TikTok. Fenomena unfollow massal ini menjadi salah satu contoh nyata dari bagaimana Cancel Culture bekerja di era digital, terutama ketika menyangkut isu-isu sensitif seperti politik.
Peran Media Sosial dalam Cancel Culture
Media sosial telah menjadi medan tempur utama dalam budaya "cancel." Saat seorang selebriti, seperti Raffi Ahmad, menyuarakan pendapat yang kontroversial atau memihak kelompok tertentu, reaksi dari netizen bisa sangat cepat dan masif. Netizen memiliki kekuatan yang besar untuk menghukum figur publik melalui aksi boikot digital, salah satunya adalah dengan unfollow massal atau bahkan menyerukan boikot terhadap brand yang bekerja sama dengan selebriti tersebut.
Dalam kasus Raffi Ahmad, banyak netizen yang mengungkapkan kekecewaan mereka melalui tagar #UnfollowRaffi dan #BoikotRaffi, yang sempat menjadi trending di Twitter. Mereka menyatakan bahwa sebagai selebriti, Raffi seharusnya bersikap netral dan tidak memihak salah satu pihak politik, terutama dalam situasi yang terpecah seperti di tahun 2024.
Respons Raffi Ahmad dan Upaya Pemulihan
Raffi Ahmad merespons reaksi tersebut dengan tenang. Dalam salah satu pernyataannya di Instagram Live, ia menyampaikan bahwa dukungannya terhadap kebijakan pemerintah adalah bentuk dari kebebasan berpendapat yang ia yakini sebagai hak setiap warga negara. Dia juga menyatakan bahwa meskipun kehilangan pengikut adalah sesuatu yang ia sadari, ia lebih menghargai keberanian untuk menyuarakan apa yang menurutnya benar.
Selain itu, Raffi mencoba meredakan situasi dengan melakukan berbagai aktivitas sosial dan kampanye yang lebih inklusif, yang berfokus pada persatuan dan toleransi. Dia juga mengajak pengikutnya untuk berdiskusi secara terbuka mengenai perbedaan pendapat tanpa harus saling menjatuhkan.
Namun, meskipun upayanya untuk memperbaiki citra publik terbilang cukup baik, dampak dari unfollow massal tersebut tetap terasa dalam karier digitalnya. Dalam tiga bulan setelah insiden tersebut, meskipun ia kembali memperoleh sebagian pengikutnya, angka pemulihan masih belum kembali ke posisi semula.Â
Pengamat media sosial menyebut bahwa efek dari Cancel Culture bisa bertahan cukup lama, tergantung pada bagaimana selebriti tersebut menangani krisis yang dihadapi.
Cancel Culture dan Perubahan dalam Pengaruh Figur Publik
Kasus Raffi Ahmad di tahun 2024 menunjukkan bahwa Cancel Culture tidak hanya terbatas pada perilaku yang dianggap tidak pantas secara sosial, tetapi juga dapat menyentuh ranah politik dan sikap figur publik terhadap isu-isu kontroversial. Di era di mana selebriti memiliki pengaruh yang besar melalui media sosial, sikap atau keputusan yang kontroversial dapat langsung berdampak pada basis pengikut mereka.
Fenomena unfollow massal ini menggambarkan bahwa publik tidak hanya melihat figur publik sebagai hiburan semata, tetapi juga sebagai panutan sosial yang diharapkan bisa merefleksikan nilai-nilai tertentu. Saat sikap atau tindakan figur publik bertentangan dengan harapan atau nilai-nilai pengikutnya, Cancel Culture dapat menjadi alat yang efektif bagi masyarakat untuk mengekspresikan ketidaksetujuan mereka.
Cancel Culture yang dialami Raffi Ahmad di tahun 2024 memperlihatkan bagaimana figur publik harus lebih berhati-hati dalam menyuarakan pandangan politik atau sosial di era digital. Dampaknya bisa sangat signifikan, baik dalam hal kehilangan pengikut, reputasi, maupun pengaruh di media sosial. Namun, dengan strategi komunikasi yang tepat, krisis seperti ini masih dapat dihadapi dan dipulihkan, meskipun prosesnya tidak selalu mudah atau cepat.
Pada akhirnya, fenomena Cancel Culture ini membuka diskusi yang lebih luas tentang tanggung jawab sosial figur publik dan batasan kebebasan berpendapat di era yang semakin terhubung secara digital.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H