Fenomena menguatnya komersialisasi tubuh perempuan sebagai obyek, telah menemukan akarnya dari zaman silam. Sejak dulu, tubuh perempuan sudah dianggap obyek, pemandangan, bahan hiasan. Hal ini dijelaskan sangat baik oleh Filsuf Prancis Simone Beauvoir (The Second Sex, 1949).Â
Menurutnya, perempuan sejak lama selalu dianggap sebagai "yang lain" atau (gender) yang kedua. Kalau laki-laki itu utama, gagah, perkasa, kuat, berwibawa, memberi nafkah, menjaga dan posisi diatas.Â
Sebaliknya, perempuan dituntut untuk ayu, manis, menerima, mengerti laki-laki, merawat rumah, dan menduduki posisi subordinat di bawah laki-laki.Â
Ketika posisi ini dipertegas, maka perempuan harus berpakaian, bergerak, berinteraksi dan bersuara sesuai dengan posisinya. Tata cara pemikiran seperti itu adalah hasil konstruksi gender yang dibangun sejak dulu dan dilanggengkan hingga sekarang.Â
Untuk menggugah kesadaran kaum perempuan, memang sulit, mencintai diri sendiri, mencintai tubuhnya, menerima segala kekurangan dalam dirinya, dan tidak membandingkan secara fisik dengan perempuan lainnya.Â
Tidak perlu berpikir keras untuk memanage keuangan kita yang sebagian persentasenya untuk menjadikan kita cantik.
Cintailah dirimu apa adanya. Jangan percaya cantik itu mahal dan menyakitkan. Buatlah diri sendiri nyaman dengan segala kekurangan dan kelebihan dalam tubuh kita. Mari kita move on, tanamkan cantik tidak harus berkulit putih dan bertubuh langsing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H