Mohon tunggu...
wiwik kurniaty
wiwik kurniaty Mohon Tunggu... Administrasi - mahasiswa

mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Demokrasi Pancasila dan Ancaman Penunggangan Kepentingan Politik

4 Desember 2024   21:34 Diperbarui: 4 Desember 2024   21:40 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Seperti halnya Pilpres, meski Pilkada selesai dilakukan dengan sukses dan tenang, narasi-narasi kontra yang mendelegitimasi sistempemerintahan masih saja kencang berhembus di beberapa media massa, podcast dan beberapa platform media sosial seperti X.

Narasi delegitimasi sistem pemerintahan yang ada sekarang bermacam-macam, ada yang mengatakan bahwa Pilkada yang berlangsung itu jauh dari yang seharusnya dilakukan pemerintah dalam menyelenggarakan pesta demokrasi tingkat regional.  Ada ungkapan partai coklat yang dinilai ikut cawe-cawe dalam Pilkada sehingga pasangan yang diusung partai-partai yang mendukung pemerintah sekaramng, bisa menang.

Oposisi dan kebencian berkelindan sedemikian erat sehingga susah untuk dipisahkan. Pilkada yang sebenarnya berlangsung dengan baik (kecuali di Jakarta yang partisipasi pemilihnya cenderung rendah dan Pilkada di papua yang terjadi kekacauan karena sistem noken) dibuat seakan-akan kacau dan tidak sukses, sehingga seakan demokrasi yang sudah berlangsung dengan baik (terbukti saat Pilpres kemarin), tercederai.

Belum lagi pihak-pihak yang menunggangi narasi-narasi itu dengan isu-isu tertentu yang jauh panggang dari api. Salah satunya adalah kelompok-kelompok tertentu yang beraliran radikal menjustifikasi propaganda politiknya dengan melakukan siasat agama untuk berhadapan dengan demokrasi.

Contoh yang nyata adalah tokoh dari kelompok radikal yang memberi atensi soal khilafah dengan mengaitkannya dengan pendapat Presiden Amerika Serikat ke 39 yaitu Nixon misalnya, yang memang pernah mengatakan bahwa Islam bukan sekadar agama tapi dasar peradaban besar.

Peradaban besar di sini bisa diartikan bahwa banyak hal dari masa lalu yang diperbaharui pada masa Nabi Muhammad. Regulasi kenegaraan misalnya, kemudian bagaimana Sang Nabi membuat aturan yang memungkinkan semua pihak menarima dan berjalan. Negara dalam keadaan harmoni. Dalam perjalanannya,  pemerintahan yang diinisiasi oleh Sang Nabi menjadi kekhilafahan dan Sanng Nabi sebagai Khalifah yang adil dan bijaksana. Namun setelah Nabi Muhammad wafat , khalifah-khalifah berikutnya memiliki penafsiran tersendiri soal kekuasaan berlandasakan Islam. Kita bisa membaca pada sejarah kekhilafahan punya bentuk yang berbeda seiring zaman, hingga berakhir pada abad ke 20 dengan kekhilafahan Otsmani di Turki.

Seiring itu di benua lain juga tumbuh sistem kenegaraan dan demokrasi yang menghasilkan sistem bernegara modern yang didalamnya sarat dengan demokrasi. Indonesia sendiri menganut demokrasi Pancasila yang bersumber dari nilai-nilai atau moral yang dimiliki oleh warga Indonesia.

Karena itu, sebaiknya demokrasi yang berlangsung dengan baik sejak reformasi digunakan sedemikian rupa untuk memperkuat kebangsaan kita itu. Jangan sampai, ada penunggangan kepentingan atau  pihak-pihak yang menjustifikasi propaganda politik dengan melakukan siasat agama untuk berhadapan dengan demokrasi.

Bagaimanapun, demokrasi Pancasilalah yang terbaik untuk kita semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun