Home Sweet Loan, akan resmi tayang di bioskop Indonesia tanggal 26 September ini. Sebuah cerita yang mengangkat kehidupan Kaluna, seorang anak bungsu sekaligus "sandwich generation" dari tiga bersaudara yang berusaha untuk membeli rumah idaman.
Film ini cocok untuk ditonton oleh semua pejuang kehidupan dengan mimpi sederhana untuk memiliki rumah, ya tempat untuk pulang.
Sebagai kelas menengah, bekerja sebagai pegawai biasa dengan gaji pas-pas an, membuat Kaluna harus bekerja sampingan agar mimpinya menjadi nyata.
Diadaptasi dari sebuah novel karena Almira Bastari, memberikan gambaran yang sangat dekat dengan kita tentang kehidupan "sandwich generation" yang telah menjadi budaya di Indonesia.
Budaya untuk berbakti dengan orang tua dan menanggung kebutuhan dari anggota keluarga lainnya, dalam hal ini Kaluna berhadapan dengan dua kakak kandungnya.
Sekalipun baru resmi tayang 26 September nanti, namun 'Home Sweet Home' cukup trending di Tiktok dengan sederet cerita tentang mereka, yang berbagi cerita bagaimana berjuang sebagai sandwich generation yang menghabiskan gaji untuk mencukupi kebutuhan keluarga besar.
Lantas, apakah Kaluna berhasil membeli rumah yang ia mimpikan di tengah permasalahan keluarga yang ada?
Suara Tak Terdengar dari "Sandwich Generation"
Tentu sudah tak asing lagi istilah "sandwich generation" yang pertama kali diciptakan oleh Dorothy Miller, seorang ahli sosiologi, pada tahun 1981.
Dorothy Miller menggunakan istilah ini untuk menggambarkan kelompok orang dewasa yang terjebak di antara dua generasi yaitu merawat anak-anak mereka dan orang tua, seolah-olah mereka berada di tengah-tengah "roti sandwich."
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) di 2020, ada sebanyak 71 juta penduduk Indonesia adalah generasi sandwich dengan gen X berkontribusi sebesar 32.6% dan Milenial (Gen Y) sebesar 43.6%.
Sedangkan, studi Asian Development Bank (ADB) di Mei 2024, merilis bahwa angka ketergantungan hidup lansia di Indonesia mencapai 50%. Melihat data terbaru maka 50% dari penduduk Indonesia menjadi generasi "sandwich".
Menjadi generasi "sandwich" tentu tidak mudah, seringkali suara mereka tak terdengar karena setiap hari harus berjuang untuk mencukupi kebutuhan orang tua, diri sendiri, anak, atau anggota keluarga lainnya. Perlu upaya dari diri sendiri dan dukungan pemerintah untuk mengatasi kondisi ini. Apalagi jika pemerintah memiliki visi menjadikan Indonesia sebagai Indonesia Emas di 2045, mungkinkah?
Siapa yang tak ingin memiliki kondisi finansial yang mapan, dana pensiun yang cukup, dan menjalani hari-hari dengan dana darurat yang terjaga?
Tentu, semua orang ingin memiliki kondisi demikian. Sayangnya, tidak semua orang memiliki kesempatan tersebut saat ini.
Tidak hanya mengalami tantangan secara finansial, namun generasi ini cenderung rentan mengalami gangguan kesehatan mental, seperti cemas, depresi, kelelahan emosional atau burnout, karena beban tanggung jawab ganda yang harus dipikul setiap harinya.
Lantas, apakah ada jalan keluar untuk mengatasi kondisi ini?
Pinjol, Jerat Masalah atau Dewa Penolong?
Di tahun 2025, BPS memproyeksikan 67,90 juta penduduk Indonesia akan memasuki usia produktif antara usia 15 - 64 tahun, yang hampir setara dengan seperempat total penduduk yang bertanggungjawab terhadap usia non produktif 0 - 14 tahun dan di atas 65 tahun.Â
Dengan range usia tersebut, gen Z menjadi salah satu generasi yang menyokong usia produktif. Kondisi ketidakpastian ekonomi, PHK, pergeseran ke Artificial Intelligence (AI), kemudahan komparasi kehidupan di media sosial, dan tingginya biaya bahkan gaya hidup, menjadi salah satu faktor pinjol atau pinjaman online diminati oleh masyarakat.
Data OJK (Otoritas Jasa Keuangan) menyebutkan hingga Maret 2024, terdapat 9.18 juta rekening pinjol dari kelompok usia 19 - 34 tahun dengan total pinjaman 28,8 T, sedangkan untuk usia kurang dari 19 tahun mencapai 211 miliar.
Melihat realitas tersebut tentu besar kemungkinan Indonesia akan dipenuhi oleh generasi "sandwich" di tahun 2045 yang dapat mengganggu visi Indonesia Emas 2045. Apa yang menyebabkan tingginya angka pinjaman online orang Indonesia?
Mengatur Keuangan itu Perlu Diusahakan, Namun Berpenghasilan Cukup itu Harus
Ada banyak faktor kenapa penduduk Indonesia sulit untuk keluar dari kondisi 'sandwich generation", selain ketidaksiapan finansial saat masa pensiun, kurangnya literasi keuangan, dan rendahnya penghasilan untuk memiliki tabungan yang cukup saat pensiun.
Menjadi kelas menengah di Indonesia dikategorikan dengan pengeluaran per kapita/bulan sebesar Rp 2,040,262 - Rp 9,909,844. Dimana angka tersebut memiliki range yang cukup jauh hampir lima kali dari nominal terendah. Gaji 3 juta/bulan dengan 9 juta/ bulan berada di kelas yang sama yaitu menengah, namun tentu saja secara nominal selisih 6 juta itu sangat besar.
Penting untuk pemerintah memberikan kemudahan akses pekerjaan yang layak seperti amanat UUD 1945 Pasal 27 ayat 2, bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, sehingga masyarakat bisa mendapatkan gaji yang cukup untuk mencukupi kebutuhan dasar dan memiliki alokasi tabungan di masa depan.
Tak kalah penting dari itu adalah literasi keuangan masyarakat Indonesia yang perlu ditingkatkan. Berdasarkan laporan ekonomi dan keuangan, Kementerian Keuangan, Januari 2024, tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia adalah 49,68% sedangkan untuk literasi pasar modal hanya 4%.
Industri pasar modal memiliki potensi yang besar, seperti saham, obligasi, reksa dana, ETF, dan surat berharga derivatif memiliki return gain atau keuntungan yang cukup tinggi jika dieksekusi dengan tepat.
Oleh sebab itu, dua hal penting yang perlu dilakukan oleh masing-masing individu agar terlepas dari generasi sandwich yaitu perbesar pendapatan dan memiliki literasi investasi yang benar sehingga pengambilan keputusan keuangan diambil dari  cara berfikir dan analisa yang tepat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H