Apa itu cukup dalam keuangan? Kita banyak melihat kejadian dimana seseorang terjebak dengan emosinya dalam memperlakukan uang, salah satunya adalah tidak mengetahui arti 'cukup' dalam keuangan. Sebagai contoh seperti judi online, sulit untuk menemukan kata cukup dan berhenti bermain sebelum semuanya benar-benar habis.
Emosi Berpengaruh Besar terhadap Keputusan Keuangan
Sering kali dalam pengambilan keputusan terkait keuangan, emosi memegang peranan dominan. Pernah membeli sesuatu berdasarkan rasa gengsi? contohnya, membeli iPhone terbaru karena circle pertemanan sudah update ke versi terbaru, alhasil sekalipun belum memiliki uang untuk membelinya, paylater 24 bulan adalah solusi.
Selain karena gengsi, ada juga keputusan-keputusan finansial yang diambil karena rasa takut, rasa bersalah, rasa malu, bahkan rasa iri. Saya sering mendengar bahwa banyak pasangan yang baru menikah memutuskan untuk membeli mobil pertama mereka dengan alasan 'malu', ya seperti malu sama tetangga jika belum punya mobil, malu jika sudah menikah masih pakai motor, atau bahkan malu dengan mertua.
Atau bersedekah. Saya sering mempertanyakan diri, kenapa saya bersedekah? apakah karena saya takut jika saya masuk neraka? apakah karena saya merasa lebih 'berada' dibanding mereka? atau apa hanya sekedar rasa kasih? mempertanyakan alasan setiap tindakan yang saya lakukan termasuk dalam hal yang mungkin terkesan 'baik', melatih kesadaran diri saya bahwa selalu ada hal rasional dibalik setiap keputusan.
Dalam hal ini, penting untuk meluangkan waktu dan menyadari emosi kita saat berhubungan dengan uang, tentunya sebelum melakukan pembelian apapun baik secara cash maupun online. Dengan kesadaran diri akan membantu kita memutuskan secara lebih rasional apakah kita butuh atau tidak. Karena dengan membiarkan emosi mengontrol keputusan keuangan, kita cenderung menghasilkan tindakan impulsif yang berujung pada penyesalan.
Procrastinator: Penundaan adalah Cara Lari dari Kecemasan
Apa itu cukup?Â
Banyak masalah keuangan yang terjadi dalam hidup karena faktor penundaan, seperti menunda melakukan perencanaan finansial, menunda untuk melakukan alokasi dana pendidikan anak atau dana pensiun, termasuk menunda membayar hutang. Penundaan-penundaan ini adalah hasil atau outcome dari kecemasan yang dialami. Alhasil untuk menghilangkan kecemasan, seseorang cenderung menjadi procrastinator atau penunda yang ulung.
Sebagai contoh, menunda membayar hutang karena cemas jika kebutuhan kurang atau menyadari bahwa uang yang dimiliki masih kurang. Tak banyak orang yang mau menghadapi kecemasan sebagai bentuk pelajaran, bahwa supaya berhasil membayar hutang dibutuhkan kesadaran untuk menghemat dan menurunkan biaya kebutuhan, atau meningkatkan sumber daya penghasilan.
Dengan menjadi procrastinator, individu akan menjadi ahli dalam berbagai macam manuver penundaan saat menghadapi sesuatu yang menimbulkan kecemasan atau ketidaknyamanan. Dan jika berhasil dengan manuver tersebut, maka Anda akan cenderung melakukan lagi dan lagi dalam situasi yang sama, ya untuk menghindari kecemasan.
Rasa tidak cukup seringkali membuat kecemasan itu muncul. Pada kasus Judol atau Judi Online, sering saya mendengar bagaimana faktor emosi benar-benar mengambil alih semua keputusan finansial, mulai dari menjual apapun supaya dapat depo, meminjam uang kemanapun untuk top-up, dan mengorbankan banyak hal untuk sesuatu yang memberikan mimpi semu akan profitabilitas tertentu. Menunda untuk mengakhiri aktivitas judi online, hanyalah menunda kecemasan bahwa sebenarnya mereka sudah kalah. Ya, bandar selalu menang, dan penjudi selalu kalah.