Mohon tunggu...
Wiwik Agustina
Wiwik Agustina Mohon Tunggu... Lainnya - Writer and Long Life Learner

Concern about Self Development and Poverty. Welcome to My Universe! From science to digital marketer. I believe that humans do what they think, and think what they believe, let's start changing our thoughts through sentences.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tingkatkan Fungsi Kognitif Otak dengan Membaca

3 September 2024   18:01 Diperbarui: 4 September 2024   11:55 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Otak menjadi organ yang sangat kompleks untuk dipelajari, dengan rata-rata berat 1.3 sampai 1.4 kilogram menjadi pengendali dari apa yang kita pikirkan, katakan, lakukan. Ya, sebuah hasil dari transmisi sinyal kimia dan listrik dari jutaan neuron.

Artikel ini terinspirasi 'Clash of Champions' dari Ruang Guru, yang membuat saya bertanya-tanya bagaimana bisa peserta memiliki kemampuan kognitif sepintar itu. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana pola asuh yang dilakukan oleh orang tua? Apakah mereka berasal dari keluarga kaya? Apakah ini bakat?

Ada dua fungsi dari otak berdasarkan fungsi fundamental dan fungsi kompleks. Dikutip dari laman hpi.oregonstate.edu menjelaskan, bahwa otak memiliki fungsi kompleks yang berkaitan aktivitas otak tingkat tinggi yaitu fungsi kognitif, seperti fokus, memori, bahasa, pemecahan masalah, dan pengolahan informasi. Lantas, bagaimana mengoptimalkan fungsi dari otak ini? Salah satunya adalah dengan nutrisi.

Pentingnya Nutrisi untuk Perkembangan Kognitif Otak 

Nutrisi adalah faktor penting yang mempengaruhi kesehatan otak dan perkembangan kognitif. Penelitian menunjukkan bahwa apa yang dikonsumsi ibu selama kehamilan dapat berdampak signifikan pada perkembangan otak janin dan kognisi anak setelah lahir.

Nutrisi saat hamil, masa bayi, dan anak-anak menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja dari otak. Oleh sebab itu, penting untuk memastikan setiap tahapan anak agar tercukupi nutrisi yang dibutuhkan bahkan sejak dalam kandungan.

Kekurangan nutrisi tertentu dapat menyebabkan gangguan kognitif yang signifikan, misalnya zat gizi mikro (vitamin C, vitamin E, dan vitamin D), asam lemak omega-3 dan zat besi. Tentu untuk mendapatkan kecukupan gizi yang baik dibutuhkan anggaran atau keuangan, sayangnya tidak semua orang tua punya kesempatan untuk memberikan gizi yang baik untuk calon anak-anak mereka.

Di artikel sebelumnya yang membahas tentang  Kompleksitas Kemiskinan yang membahas bahwa anak yang lahir dari keluarga miskin sudah kalah di garis awal, termasuk kecukupan gizi. Lantas, apakah ada solusi?

Membaca itu Menyenangkan: Cara Murah untuk Mengejar Ketertinggalan

Saya sering bertanya, kenapa mereka yang secara ekonomi kurang atau miskin, mostly mengambil keputusan-keputusan hidup yang menurut saya tidak masuk akal. Contoh umum yang sering kita temui:

1. Mempercayai banyak anak itu banyak rejeki

Ini tidak masuk akal, kenapa? Jika si A adalah orang dewasa yang percaya konsep ini, jika benar bahwa banyak anak adalah banyak rejeki, kenapa si A tetap miskin sampai dewasa dan tidak menjadi 'rejeki' buat orang tua si A tersebut?

2. Miskin karena takdir dari Tuhan

Pemikiran ini adalah bagian dari melimpahkan kesalahan kepada subjek lain, yaitu Tuhan. Kemiskinan tidak mudah untuk diputuskan, si miskin perlu berusaha lebih keras untuk bisa naik level. Namun dengan pikiran demikian, bagaimana bisa naik level jika sudah meyakini bahwa kondisi saat ini adalah pemberian dari Tuhan?

3. Punya uang dikit, langsung dihabiskan sehingga tidak ada rencana keuangan untuk masa depan.

Dengan keputusan-keputusan hidup demikian, saya menyadari bahwa ini berkaitan dengan fungsi otak, bagaimana memecahkan masalah, berfikir, dan mengambil keputusan-keputusan dalam hidup, semua itu berkaitan dengan fungsi kognitif otak. Dan fungsi ini dapat terhambat oleh kemiskinan.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kemiskinan pada anak usia dini merupakan faktor rendahnya pencapaian pendidikan, masalah perilaku, kesehatan mental, struktur otak yang berbeda, dan tentunya kemampuan kognitif. Sekali lagi, tidak semua anak punya kesempatan yang sama dalam hidup.

Hal yang wajar jika saya sering kali mengaitkan kesuksesan seseorang dengan latar belakang keluarga, baik itu pola asuh orang tua dan kekayaan. Tentu, memang ada banyak kasus bahwa kekayaan bukan menjadi jaminan, namun suka tidak suka, kekayaan menjadi kendaraan yang mempermudah tercapainya tujuan.

Namun berdasarkan studi dan analisa data dari proyek Adolescent Brain and Cognitive Development, menemukan bahwa membaca karena kesenangan atau pleasure dimasa kanak-kanak dikaitkan dengan nilai kognitif dan pencapaian pendidikan yang lebih baik, sehingga anak-anak lebih rendah mengalami masalah kesehatan dan dapat mengalihkan fokusnya dari penggunaan perangkat elektronik.

Hasil riset ini bermanfaat tanpa memandang status sosial ekonomi. Dengan membaca apa saja akan meningkatkan kapasitas, perkembangan, dan kognisi otak. Jadi, penting untuk meliterasi semua keluarga miskin khususnya orang tua agar terbuka memberikan kesempatan kepada anak untuk membaca. Tapi, dibutuhkan peran partisipasi dari masyarakat dan pemerintah untuk meningkatkan kesadaran.

Ini adalah tanggungjawab bersama, memang tidak ada kepastian dalam hidup yang dapat menjamin bahwa membaca akan mengentaskan kemiskinan, karena nyatanya kemiskinan adalah labirin dan perlu usaha bersama untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Tapi, penting untuk bisa menularkan dan menyebarkan informasi bahwa ada jalan keluar dari kemiskinan dan bisa sekalipun dengan step by step. 

Disini lain, pentingnya untuk bisa mempersiapkan diri sebagai orang tua dan membangun diri selagi muda. Kemiskinan bukan hanya sekedar nutrisi yang buruk, tempat tinggal yang kumuh, atau pengeluaran belanja kurang dari 600 ribu rupiah. Namun, kemiskinan adalah pola pikir yang mengakar bahwa hidup tidak perlu diperjuangkan. Ya wes, pokok'e urip. 

Referensi:

Cognitive Function In Brief, Linus Pauling Institute.

Poverty is linked to poorer brain development -- but reading can help counteract it, Theconversation.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun