Kemiskinan, selalu menjadi topik yang diperdebatkan. Sering menjadi komoditas politik untuk mendulang suara dengan janji menurunkan angka kemiskinan.Â
Kali ini, tulisan ini membahas kompleksitas kemiskinan yang sulit diputuskan. Saya mempercayai bahwa kemiskinan bukanlah lingkaran setan. Namun, benang kusut yang perlu dicari ujung jalan keluarnya.
Kita Beda Garis Awal
Menjadi orang miskin kerap kali menjadi subjek untuk memperjual-belikan mimpi hidup kaya. Ya, kita sering mendengar berapa banyak mereka yang lahir dari keluarga kaya melabeli diri mereka dengan 'saya dulu miskin' untuk memberikan mimpi kepada mereka yang benar-benar miskin bahwa semua bisa menjadi kaya. Namun, realita tidak demikian.
Mereka yang lahir mikin sudah kalah di garis awal, suka atau tidak, garis awal antara anak yang lahir dari keluarga miskin dan anak yang lahir dari keluarga kaya sudah berbeda. Itulah kenapa mimpi semua bisa menjadi kaya, sangat tidak masuk akal karena seakan-akan dua subjek ini berada di garis start yang sejajar.
Tentu, dari keluarga seperti apa seorang anak dilahirkan tidak bisa ditentukan, oleh sebab itu kenapa saya mengkategorikan tulisan ini pada kategori parenting, karena hanya orangtualah yang bisa merubah status 'anak lahir dari keluarga miskin' atau 'anak lahir dari keluarga kaya'.
Kita pasti familiar dengan riset SMERU 2019, bahwa anak yang lahir dari keluarga miskin akan cenderung miskin ketika dewasa, kenapa? Ya, karena garis awal mereka tidak pernah sama. Ada banyak hal yang tidak dimiliki oleh keluarga miskin, bukan hanya sekedar kemudahan akses dan fasilitas, tapi literasi dan psikologi dalam memperlakukan dan mendidik anak.
Tren Gila Akhir-Akhir Ini
Jika algoritma tiktok ini sampai di gawai Anda, semoga Anda memahami kegelisahan penulisan artikel ini dari sudut pandang saya sebagai seorang perempuan.Â
Ya, tren 'Hamil Duluan'. Ada sesat pikir di sini saat mereka yang menikah karena hamil duluan mulai merasa lebih bermartabat seakan memiliki hak untuk melabeli perempuan lainnya yang sudah menikah namun belum memiliki anak lebih rendah dibandingkan mereka yang memiliki anak sebelum menikah.
Tren konten ini membuat saya yang adalah perempuan, belum menikah, dan berusaha untuk memberikan kondisi yang ideal jika saya nanti menikah dan memiliki anak, menjadi gelisah dengan cara berfikir yang mulai melampaui akal sehat.Â
Dalam hal ini, saya tidak membahas apakah menikah karena hamil duluan adalah salah atau benar, namun saya concern dengan apakah mereka sudah benar-benar siap menjadi orang tua yang mendidik dan memenuhi kebutuhan anak mereka dengan layak?
Kenapa ini menjadi concern saya? Karena orang tua yang punya peranan penting bagaimana masa depan seorang anak. Mereka yang menikah karena hamil terlebih dahalu, apakah sudah siap secara mental dan finansial? Apakah mereka sudah selesai dengan diri mereka sendiri sehingga mereka bisa fokus untuk memberikan yang terbaik kepada anak mereka? Apakah mereka sadar bahwa memiliki anak adalah tanggungjawab yang besar dan jangka panjang? Melihat bahwa mereka yang mengikuti tren ini masih tergolong muda dengan usia di bawah 20 tahun.
Tentu hal ini berbeda dengan mereka yang menikah dan merencanakan kehamilan sekalipun belum memiliki anak, namun yang perlu digaris bawahi di sini adalah mereka sudah mengambil bagian untuk merencanakan dan mempersiapkan baik pasangan tersebut memutuskan untuk memiliki anak atau tidak setelah menikah. Namun, jika pasangan tersebut berencana untuk memiliki anak dari pernikahannya, hasil dari perencanaan itu adalah bukan dari kontrol mereka tapi kontrol Tuhan.
Oleh sebab itu, penting untuk menyadari betapa pentingnya mempersiapkan environment yang mendukung perkembangan anak sebelum menjadi orang tua, karena faktnya, orang tua dengan status miskin cenderung mengganggu pertumbuhan anak dengan pola pengasuhan yang mereka berikan.Â
Bukan lagi mitos, bahwa orang tua yang miskin cenderung sulit berkomunikasi dengan anak, dan cenderung mudah marah dan memberikan hukuman terhadap anak saat menghadapi masalah.
Ini berkaitan dengan pendidikan, satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk anak yang lahir miskin agar mendapatkan kesempatan keluar dari kemiskinan adalah pendidikan. Dan pendidikan pertama seorang anak adalah dari orang tuanya. Tapi kita tahu, berdasarkan riset SMERU bahwa 63% penduduk miskin di Indonesia memiliki pendidikan setara SD (sekolah dasar) atau tidak bersekolah sama sekali.
Jadi, langkah awal agar memutus kemiskinan adalah mempersiapkan diri menjadi orang tua yang tidak mewariskan kemiskinan kepada generasi selanjutnya.
Ujung Benang Kusut Anak yang Lahir Miskin
Memang ada banyak faktor kenapa mereka yang lahir miskin cenderung tetap miskin saat dewasa dan sulit keluar dari benang kusut ini. Namun, ujung benang kusut selalu bisa ditemukan, bukan berarti tidak bisa namun butuh waktu untuk menempuhnya. Hal utama yang perlu dimiliki adalah kemauan untuk berubah dan kesadaran bahwa jalan yang ditempuh bukanlah jalan yang mudah.
Ingat, sudah berbeda di garis awal dan sudah kalah start sebelum bertanding. Perspektif ini yang akan membuat mereka yang lahir dari keluarga miskin menyadari bahwa memang harus berusaha lebih keras, lebih pintar, lebih berat, lebih dari semuanya mereka yang lahir di kondisi keluarga kaya.
Pendidikan adalah pintu, menjadi terdidik untuk mendidik generasi selanjutnya agar memiliki hidup yang lebih baik. Kemiskinan hanyalah labirin yang perlu kita cari jalan keluarnya dan butuh waktu untuk menemukan. Namun, dengan akses yang terbatas, relasi orang dalam yang tidak ada, keuangan dan teladan yang sulit ketemui tentu akan menyulitkan. Dan itu realita. Menyadari realita, membuat siap untuk menjalani hidup dengan segala konsekuensinya.
Tentu di tulisan ini memang tidak memberikan jalan keluar praktikal, karena sebelum menjadi langkah praktis, kita perlu untuk merubah perspektif atau mindset yang selama ini kita yakini. Karena sesuai dengan judul, kompleksitas kemiskinan tidak mudah dipatahkan, tapi bukan berarti tak bisa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI