Mohon tunggu...
Wiwik Agustina
Wiwik Agustina Mohon Tunggu... Lainnya - Writer and Long Life Learner

Concern about Self Development and Poverty. Welcome to My Universe! From science to digital marketer. I believe that humans do what they think, and think what they believe, let's start changing our thoughts through sentences.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kompleksitas Kemiskinan Tidak Mudah Dipatahkan, Tapi Bukan Berarti Tak Bisa

31 Agustus 2024   23:02 Diperbarui: 2 September 2024   10:17 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI | Source: vector_corp/Freepik

Kenapa ini menjadi concern saya? Karena orang tua yang punya peranan penting bagaimana masa depan seorang anak. Mereka yang menikah karena hamil terlebih dahalu, apakah sudah siap secara mental dan finansial? Apakah mereka sudah selesai dengan diri mereka sendiri sehingga mereka bisa fokus untuk memberikan yang terbaik kepada anak mereka? Apakah mereka sadar bahwa memiliki anak adalah tanggungjawab yang besar dan jangka panjang? Melihat bahwa mereka yang mengikuti tren ini masih tergolong muda dengan usia di bawah 20 tahun.

Tentu hal ini berbeda dengan mereka yang menikah dan merencanakan kehamilan sekalipun belum memiliki anak, namun yang perlu digaris bawahi di sini adalah mereka sudah mengambil bagian untuk merencanakan dan mempersiapkan baik pasangan tersebut memutuskan untuk memiliki anak atau tidak setelah menikah. Namun, jika pasangan tersebut berencana untuk memiliki anak dari pernikahannya, hasil dari perencanaan itu adalah bukan dari kontrol mereka tapi kontrol Tuhan.

Oleh sebab itu, penting untuk menyadari betapa pentingnya mempersiapkan environment yang mendukung perkembangan anak sebelum menjadi orang tua, karena faktnya, orang tua dengan status miskin cenderung mengganggu pertumbuhan anak dengan pola pengasuhan yang mereka berikan. 

Bukan lagi mitos, bahwa orang tua yang miskin cenderung sulit berkomunikasi dengan anak, dan cenderung mudah marah dan memberikan hukuman terhadap anak saat menghadapi masalah.

Ini berkaitan dengan pendidikan, satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk anak yang lahir miskin agar mendapatkan kesempatan keluar dari kemiskinan adalah pendidikan. Dan pendidikan pertama seorang anak adalah dari orang tuanya. Tapi kita tahu, berdasarkan riset SMERU bahwa 63% penduduk miskin di Indonesia memiliki pendidikan setara SD (sekolah dasar) atau tidak bersekolah sama sekali.

Jadi, langkah awal agar memutus kemiskinan adalah mempersiapkan diri menjadi orang tua yang tidak mewariskan kemiskinan kepada generasi selanjutnya.

Ujung Benang Kusut Anak yang Lahir Miskin

Memang ada banyak faktor kenapa mereka yang lahir miskin cenderung tetap miskin saat dewasa dan sulit keluar dari benang kusut ini. Namun, ujung benang kusut selalu bisa ditemukan, bukan berarti tidak bisa namun butuh waktu untuk menempuhnya. Hal utama yang perlu dimiliki adalah kemauan untuk berubah dan kesadaran bahwa jalan yang ditempuh bukanlah jalan yang mudah.

Ingat, sudah berbeda di garis awal dan sudah kalah start sebelum bertanding. Perspektif ini yang akan membuat mereka yang lahir dari keluarga miskin menyadari bahwa memang harus berusaha lebih keras, lebih pintar, lebih berat, lebih dari semuanya mereka yang lahir di kondisi keluarga kaya.

Pendidikan adalah pintu, menjadi terdidik untuk mendidik generasi selanjutnya agar memiliki hidup yang lebih baik. Kemiskinan hanyalah labirin yang perlu kita cari jalan keluarnya dan butuh waktu untuk menemukan. Namun, dengan akses yang terbatas, relasi orang dalam yang tidak ada, keuangan dan teladan yang sulit ketemui tentu akan menyulitkan. Dan itu realita. Menyadari realita, membuat siap untuk menjalani hidup dengan segala konsekuensinya.

Tentu di tulisan ini memang tidak memberikan jalan keluar praktikal, karena sebelum menjadi langkah praktis, kita perlu untuk merubah perspektif atau mindset yang selama ini kita yakini. Karena sesuai dengan judul, kompleksitas kemiskinan tidak mudah dipatahkan, tapi bukan berarti tak bisa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun