Sistem itulah yang belum berjalan baik---bahkan belum eksis---di Indonesia. Special screening untuk media massa memang ada, tapi output-nya mayoritas berupa testimoni.Â
Mungkin karena para jurnalis tak enak hati, karena menaruh respek terlalu besar pada para sineas. Dan bukan sekali dua saya mendengar selentingan bahwa para jurnalis berhenti menulis kritik karena tak tahan didebat (bahkan dimarahi) para sineas!
Padahal kritik penting karena merupakan "pilar demokrasi" dunia seni. Bagaimanapun formatnya, apakah berasal dari warga awam (pembaca/penonton), jurnalis, atau tokoh akademik, kritik membuat para seniman tak bisa berkreasi semaunya.Â
Ada kontrol, ada pengawasan, untuk kemudian kita harus hati-hati dan njelimet dalam bekerja sehingga terus bisa meningkatkan kualitas. Sebagai novelis, itu benar-benar saya rasakan berdasar sistem kritik buku yang sudah berjalan, baik di Goodreads maupun di kalangan blogger buku.
Di film, kita di Indonesia tak punya orientasi soal pencapaian kualitas tanpa adanya ukuran semacam yang didapat film-film Hollywood melalui lembaga-lembaga pengukur tersebut.Â
Kita hanya tahu ada film-film (yang dikategorikan) bagus setelah FFI atau Indonesia Movie Awards mengumumkan judul-judul pemenang. Namun di luar itu, kita tak pernah tahu apakah Bumi Manusia, Gundala, atau Menculik Miyabi sesungguhnya bagus atau jelek.
Yang ada hanyalah deretan opini subjektif yang sebagian besar berisi, itu tadi, testimoni.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H