Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini (2024) telah menerbitkan 46 judul buku, 22 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Buku terbaru "Tangguh: Anak Transmigran jadi Profesor di Amerika", diterbitkan Tatakata Grafika, yang merupakan biografi Peter Suwarno, associate professor di School of International Letters and Cultures di Arizone State University, Amerika Serikat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Tak Bisa Sendiri, Mari Bersatu Lawan Pembajakan Buku

22 Oktober 2019   21:39 Diperbarui: 29 Oktober 2019   21:31 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu lalu, saya membaca novel Dilan 1990 karya Pidi Baiq. Tak lama kemudian, saya menemukan sekuelnya, Dilan 1991, ada di rumah saya. Karena suka dengan judul pertamanya, saya langsung sempatkan untuk baca Dilan 1991. 

Sayang ternyata yang ini buku bajakan. Dan saya langsung tahu cukup dengan meraba kertasnya. Minat baca pun turun ke titik nadir. Buku saya taruh, sama sekali tak berminat membacanya lebih lanjut.

Ini adalah satu contoh ketika aktivitas yang harusnya menjadi kegembiraan, yaitu membaca, tak berlanjut karena bukunya ternyata tidak asli. Dalam kaitan dengan saya sebagai penulis, hal itu jelas.

Saya tak mau buku-buku saya dibajak. Karenanya, pas baca, saya juga emoh membaca buku bajakan. Harus dapat yang asli, dengan membeli, atau setidaknya meminjam di perpustakaan.

Di tengah maraknya kasus buku-buku bajakan, seharusnya pola berpikir seperti inilah yang kita tegakkan terhadap diri masing-masing. Memang membaca itu penting, tapi ya jangan lantas moto peteng (gelap mata) dengan asal tabrak membaca apa saja yang penting tulisannya bisa terbaca. Membaca (buku) haruslah hanya dilakukan dengan menggunakan buku yang asli, dan rasanya tidak sreg saat yang dibaca ternyata adalah buku bajakan.

Ini penting untuk dipahami karena semahal-mahalnya harga buku, tidaklah sampai setara ongkos sekali makan di restoran gastronomi molekuler. Dan bukankah mendapatkan buku secara gratis pun bisa, yaitu dengan pinjam ke perpustakaan itu tadi? Maka pada dasarnya, aktivitas kita sebagai pembaca untuk bergaul dengan buku-buku bajakan sebenarnya tak berdasar sama sekali.

Beda jika kita bandingkan dengan interaksi serupa terkait serial TV dan video game komputer. Serial TV tak selalu mudah kita dapat, padahal kita harus update secepatnya. Sedang PC game original terhalang harga yang luar biasa mahal (di atas Rp 300 ribu, kadang mencapai Rp 800 ribuan untuk satu judul). Tentu saja itu keliru juga, namun situasi dunia bisnis di kedua ranah itu membuka peluang munculnya "pangsa pasar" untuk pembajakan.

Buku, di pihak lain, sesungguhnya tak memberikan pangsa pasar itu. Lha wong mereka bisa kita dapatkan dengan gratis, trus pengin yang lebih enak dan nyaman bagaimana lagi, coba? Bukunya diantar langsung ke rumah oleh Andrea Hirata atau Dewi Lestari, gitu? Dan gratis? Dan mereka juga sekaligus mentraktir kita makan?

Sayang kesadaran untuk menjauhi buku bajakan tak tumbuh dengan sendirinya pada benak tiap individu. Karenanya, kita sebagai penulis buku harus mau repot-repot untuk mengedukasi pembaca dan warga umum mengenai hal satu ini. Yaitu bahwa membaca buku bajakan itu tidak keren. Bukan semata karena "tidak membayar pengarangnya", tapi semata hanya agar kita tidak membiasakan diri untuk hidup dalam kepalsuan.

Berawal dari buku yang palsu, lama-lama seluruh aspek kehidupan tak jadi soal andai harus palsu juga. Sikap palsu kepada atasan hanya agar mendapat promosi dan bonus gaji. Keramahan palsu pada calon mertua hanya agar proses pedekate berjalan tanpa hambatan. Lama-lama pacar pun bisa palsu juga---nekad pacaran dengan pacar orang lain, yang penting bisa pacaran!

Lalu bagaimana cara edukasi itu dilakukan? Banyak cara, sejak dari mengunggah status, cuitan, atau foto. Namun namanya penulis, kurang komplet andai tak dilengkapi dengan menulis artikel, yaitu yang semacam ini---jangan hanya sebatas tulisan di medsos. 

Mengapa demikian? Karena satu artikel, dalam standar ilmu jurnalistik, telah mengandung semua unsur yang diperlukan untuk membuatnya legitimate sebagai satu cetusan pikir, dan bukan hanya semacam gerundelan pribadi.

Artikel akan mengandung pemetaan dan penjabaran masalah, kondisi yang melatarbelakangi masalah itu, dan terutama, yang terpenting, tawaran solusi. Itu yang kadang absen dalam status atau benang (thread) kicauan, karena kadang hanya berisi ungkapan sepihak untuk justru dicarikan jalan keluarnya oleh pihak lain (semacam "please do your magic!"). Warganet umum sih tak masalah, tapi penulis seharusnya sanggup melakukan yang lebih baik dari itu.

Cara edukasi kedua adalah saat menjadi narasumber workshop menulis, diskusi buku, meet and greet, atau peluncuran buku. Bagi para penulis kelas nasional dengan jadwal kegiatan padat dari pulau ke pulau---apalagi bila telah mencapai tataran Ubud atau Kusala Sastra---suara edukasi ini pasti akan sangat didengar. Setidaknya para penggemar dan follower pasti akan dengan senang hati mengamini.

Masalahnya, mengedukasi memang tak mudah. Sebagaimana pengalaman sekian tahun lalu saat saya terlibat aktivitas edukasi tayangan TV dalam program literasi media, hasilnya tak langsung bisa terlihat seketika. Hanya karena kita telah kerap menulis artikel tentang pembajakan buku, sembari terus berkampanye dalam banyak acara, tak dengan seketika terasa ada penurunan jumlah buku bajakan yang beredar dalam dua atau tiga hari sesudahnya.

Karenanya memang kita sangat perlu konsisten dan ngeyel dalam hal ini. Sama persis seperti kiprah polisi menghadapi dunia kejahatan. Yang penting tetap terus bekerja keras memberantas kejahatan saja, tanpa resah soal "Duh, kok penjahatnya gak kapok-kapok?". Demikian pula kita para penulis. Terus saja mengedukasi pembaca kita masing-masing agar jangan sekali-sekali bersentuhan dengan buku bajakan, baik milik kita maupun penulis lain.

Jika itu sudah bisa kita lakukan secara berkelanjutan, tiba saatnya untuk mendobrak keluar, yaitu melakukan perlawanan pada para pembajak buku dan semua "stakeholeder"-nya---termasuk panitia-panitia sayembara menulis dengan hadiah buku bajakan, atau penjual buku bajakan. Bisa secara moral, bisa juga lewat jalur hukum. 

Organisasi-organisasi profesi penulis semacam Penpro atau Satupena harusnya bisa menginisiasi gerakan ini, dengan banyak upaya high profile yang mengundang (dan perlu diliput) media massa.

Kunci untuk masalah ini memang hanya ada dua, yaitu selalu bersatu untuk melawan dan tak pernah lelah. Pembajakan buku adalah bagian integral dari dunia kejahatan terorganisir. Menghabisinya hingga mencapai 0% bukanlah agenda utama, karena terlalu utopis juga, melainkan cukup dengan menyelesaikan case-by-case saja, seperti upaya Poirot menuntaskan tiap kasus yang datang padanya.

Dan jika masing-masing kerabat pembaca kita telah well-educated untuk jauh-jauh dari buku bajakan, setidaknya itu akan kian mempersempit ruang gerak para pembajak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun