Lalu bagaimana cara edukasi itu dilakukan? Banyak cara, sejak dari mengunggah status, cuitan, atau foto. Namun namanya penulis, kurang komplet andai tak dilengkapi dengan menulis artikel, yaitu yang semacam ini---jangan hanya sebatas tulisan di medsos.Â
Mengapa demikian? Karena satu artikel, dalam standar ilmu jurnalistik, telah mengandung semua unsur yang diperlukan untuk membuatnya legitimate sebagai satu cetusan pikir, dan bukan hanya semacam gerundelan pribadi.
Artikel akan mengandung pemetaan dan penjabaran masalah, kondisi yang melatarbelakangi masalah itu, dan terutama, yang terpenting, tawaran solusi. Itu yang kadang absen dalam status atau benang (thread) kicauan, karena kadang hanya berisi ungkapan sepihak untuk justru dicarikan jalan keluarnya oleh pihak lain (semacam "please do your magic!"). Warganet umum sih tak masalah, tapi penulis seharusnya sanggup melakukan yang lebih baik dari itu.
Cara edukasi kedua adalah saat menjadi narasumber workshop menulis, diskusi buku, meet and greet, atau peluncuran buku. Bagi para penulis kelas nasional dengan jadwal kegiatan padat dari pulau ke pulau---apalagi bila telah mencapai tataran Ubud atau Kusala Sastra---suara edukasi ini pasti akan sangat didengar. Setidaknya para penggemar dan follower pasti akan dengan senang hati mengamini.
Masalahnya, mengedukasi memang tak mudah. Sebagaimana pengalaman sekian tahun lalu saat saya terlibat aktivitas edukasi tayangan TV dalam program literasi media, hasilnya tak langsung bisa terlihat seketika. Hanya karena kita telah kerap menulis artikel tentang pembajakan buku, sembari terus berkampanye dalam banyak acara, tak dengan seketika terasa ada penurunan jumlah buku bajakan yang beredar dalam dua atau tiga hari sesudahnya.
Karenanya memang kita sangat perlu konsisten dan ngeyel dalam hal ini. Sama persis seperti kiprah polisi menghadapi dunia kejahatan. Yang penting tetap terus bekerja keras memberantas kejahatan saja, tanpa resah soal "Duh, kok penjahatnya gak kapok-kapok?". Demikian pula kita para penulis. Terus saja mengedukasi pembaca kita masing-masing agar jangan sekali-sekali bersentuhan dengan buku bajakan, baik milik kita maupun penulis lain.
Jika itu sudah bisa kita lakukan secara berkelanjutan, tiba saatnya untuk mendobrak keluar, yaitu melakukan perlawanan pada para pembajak buku dan semua "stakeholeder"-nya---termasuk panitia-panitia sayembara menulis dengan hadiah buku bajakan, atau penjual buku bajakan. Bisa secara moral, bisa juga lewat jalur hukum.Â
Organisasi-organisasi profesi penulis semacam Penpro atau Satupena harusnya bisa menginisiasi gerakan ini, dengan banyak upaya high profile yang mengundang (dan perlu diliput) media massa.
Kunci untuk masalah ini memang hanya ada dua, yaitu selalu bersatu untuk melawan dan tak pernah lelah. Pembajakan buku adalah bagian integral dari dunia kejahatan terorganisir. Menghabisinya hingga mencapai 0% bukanlah agenda utama, karena terlalu utopis juga, melainkan cukup dengan menyelesaikan case-by-case saja, seperti upaya Poirot menuntaskan tiap kasus yang datang padanya.
Dan jika masing-masing kerabat pembaca kita telah well-educated untuk jauh-jauh dari buku bajakan, setidaknya itu akan kian mempersempit ruang gerak para pembajak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H