Beberapa waktu lalu, saya membaca novel Dilan 1990 karya Pidi Baiq. Tak lama kemudian, saya menemukan sekuelnya, Dilan 1991, ada di rumah saya. Karena suka dengan judul pertamanya, saya langsung sempatkan untuk baca Dilan 1991.Â
Sayang ternyata yang ini buku bajakan. Dan saya langsung tahu cukup dengan meraba kertasnya. Minat baca pun turun ke titik nadir. Buku saya taruh, sama sekali tak berminat membacanya lebih lanjut.
Ini adalah satu contoh ketika aktivitas yang harusnya menjadi kegembiraan, yaitu membaca, tak berlanjut karena bukunya ternyata tidak asli. Dalam kaitan dengan saya sebagai penulis, hal itu jelas.
Saya tak mau buku-buku saya dibajak. Karenanya, pas baca, saya juga emoh membaca buku bajakan. Harus dapat yang asli, dengan membeli, atau setidaknya meminjam di perpustakaan.
Di tengah maraknya kasus buku-buku bajakan, seharusnya pola berpikir seperti inilah yang kita tegakkan terhadap diri masing-masing. Memang membaca itu penting, tapi ya jangan lantas moto peteng (gelap mata) dengan asal tabrak membaca apa saja yang penting tulisannya bisa terbaca. Membaca (buku) haruslah hanya dilakukan dengan menggunakan buku yang asli, dan rasanya tidak sreg saat yang dibaca ternyata adalah buku bajakan.
Ini penting untuk dipahami karena semahal-mahalnya harga buku, tidaklah sampai setara ongkos sekali makan di restoran gastronomi molekuler. Dan bukankah mendapatkan buku secara gratis pun bisa, yaitu dengan pinjam ke perpustakaan itu tadi? Maka pada dasarnya, aktivitas kita sebagai pembaca untuk bergaul dengan buku-buku bajakan sebenarnya tak berdasar sama sekali.
Beda jika kita bandingkan dengan interaksi serupa terkait serial TV dan video game komputer. Serial TV tak selalu mudah kita dapat, padahal kita harus update secepatnya. Sedang PC game original terhalang harga yang luar biasa mahal (di atas Rp 300 ribu, kadang mencapai Rp 800 ribuan untuk satu judul). Tentu saja itu keliru juga, namun situasi dunia bisnis di kedua ranah itu membuka peluang munculnya "pangsa pasar" untuk pembajakan.
Buku, di pihak lain, sesungguhnya tak memberikan pangsa pasar itu. Lha wong mereka bisa kita dapatkan dengan gratis, trus pengin yang lebih enak dan nyaman bagaimana lagi, coba? Bukunya diantar langsung ke rumah oleh Andrea Hirata atau Dewi Lestari, gitu? Dan gratis? Dan mereka juga sekaligus mentraktir kita makan?
Sayang kesadaran untuk menjauhi buku bajakan tak tumbuh dengan sendirinya pada benak tiap individu. Karenanya, kita sebagai penulis buku harus mau repot-repot untuk mengedukasi pembaca dan warga umum mengenai hal satu ini. Yaitu bahwa membaca buku bajakan itu tidak keren. Bukan semata karena "tidak membayar pengarangnya", tapi semata hanya agar kita tidak membiasakan diri untuk hidup dalam kepalsuan.
Berawal dari buku yang palsu, lama-lama seluruh aspek kehidupan tak jadi soal andai harus palsu juga. Sikap palsu kepada atasan hanya agar mendapat promosi dan bonus gaji. Keramahan palsu pada calon mertua hanya agar proses pedekate berjalan tanpa hambatan. Lama-lama pacar pun bisa palsu juga---nekad pacaran dengan pacar orang lain, yang penting bisa pacaran!