Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini (2024) telah menerbitkan 46 judul buku, 22 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Buku terbaru "Tangguh: Anak Transmigran jadi Profesor di Amerika", diterbitkan Tatakata Grafika, yang merupakan biografi Peter Suwarno, associate professor di School of International Letters and Cultures di Arizone State University, Amerika Serikat.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Menjaga Keseimbangan dengan "Writing Therapy"

21 Oktober 2019   22:59 Diperbarui: 22 Oktober 2019   19:00 851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menulis: unsplash.com/@katstokes_ (Kat Stokes)

Menulis bisa menjaga kesehatan emosi dan bahkan menyembuhkan gangguan kejiwaan? Itu bukan hoaks atau apalagi mitos, melainkan kasunyatan. Para peneliti telah tuntas mempelajari efektivitasnya dalam disiplin ilmu psikologi puluhan tahun yang lalu, dan para ahli jiwa telah lama pula mempraktikannya sebagai salah satu metoda terapi.

Gangguan emosi yang dapat terjun bebas menjadi gangguan kejiwaan pasti berawal dari peristiwa dan lingkungan buruk yang tidak menunjang personal growth kita. Dan ini bisa terjadi pada semua orang, karena kehidupan di planet Bumi ini tak hanya berisi suka saja, melainkan juga duka.

Emosi dan jiwa dapat mengalami ketidakseimbangan karena tak semua orang memiliki kemampuan yang baik dalam menangani peristiwa-peristiwa tak menyenangkan tersebut.

Menurut paparan sebuah artikel di laman Positive Psychology, apa yang harus kita lakukan dalam saat-saat yang berat itu adalah mencapai kembali keseimbangan. Ini penting agar kondisi emosi kita kembali stabil dan tidak terpuruk makin dalam, yang pada gilirannya dapat mengarah pada gangguan kejiwaan.

Bagaimana caranya? Dengan mengekspresikan suasana batin lewat seni, entah itu bermusik, melukis, atau memahat. Dan termasuk di antaranya adalah dengan menulis.

Kita yang awam terhadap kesenian biasanya tak pernah terpikir untuk melakukan hal ini karena dua alasan. Satu, tidak tertarik pada dunia seni. Dan mayoritas dari kita pasti benar-benar melaksanakannya sebagaimana jika ketidaktertarikan pada film fantasi atau artis K-pop, misalnya, benar-benar membuat kita ogah bersentuhan dengan hal-hal itu, sama sekali.

Alasan kedua adalah ketiadaan bakat. Karena merasa tak memiliki talenta, maka kita memutuskan untuk tak juga mencobanya. Kita berpikir hasilnya pasti jelek, berhubung dilakukan oleh seseorang yang tidak berkompeten di dalamnya.

Padahal dalam kaitannya dengan kestabilan emosi, baik dalam konteks pencegahan maupun pengobatan, urusan pernak-pernik remeh temeh itu sungguh tidak urgen. Tak ada bakat pun tak jadi soal, karena karya seni yang kita buat itu toh nantinya tidak untuk dijual atau dipamerkan.

Dan untuk kesehatan jangka panjang masa masih berpikir soal selera atau bukan selera? Aslinya kita kan malas juga harus capek-capek lari, senam aerobik, atau jatuh bangun main futsal. Namun demi kebugaran fisik, itu semua tetap dikerjakan, tak peduli kita menyukainya atau tidak.

Karena merupakan salah satu cabang kesenian, menulis juga termasuk di antara metoda-metoda praktis yang bisa digunakan untuk mencapai keseimbangan dan kestabilan emosi. Kita butuh mencurahkan, menumpahkan, atau bahkan melampiaskan semua emosi negatif agar luruh dan tak lagi mengganggu.

Daripada ngamuk, melukai orang lain, membalas dendam secara keji, atau melakukan perundungan di media sosial, akan lebih cerdas (dan mudah) bila itu dilakukan lewat menulis.

Terapi menulis atau writing therapy sendiri sudah lama dikenal dan dipraktikkan oleh para pakar kejiwaan dalam terapi penyembuhan. Jika kita lihat di film-film Hollywood, terapi penanganan gangguan emosi dan kejiwaan oleh psikiater biasanya dilakukan dengan meminta sang pasien untuk berbaring di sofa lalu menceritakan semua yang ia alami, untuk kemudian sang psikiater memberikan analisis dan anjuran.

Menulis menjadi metoda alternatif selain dengan penceritaan secara verbal oleh pasien. Istilah kerennya adalah therapeutic writing, atau menulis untuk penyembuhan.

Apa yang harus ditulis? Para ahli jiwa akan menuntun dan menentukan untuk itu, tergantung berat kasus dan karakter individu pasien yang ditangani. Namun format penulisan yang lebih mudah dikerjakan---dan langsung bisa dilakukan detik ini juga---adalah dalam bentuk diary.

Ingat lagi, kala ABG kita selalu mencurahkan perasaan kepada "Dear Diary" saat sedang dimabuk asmara atau galau menjelang pemutusan? Nah, itu sudah merupakan salah satu langkah penting therapeutic writing.

Percabangan format buku harian lain yang bisa ditempuh adalah yang bukan berupa diary, melainkan jurnal. Apa bedanya? Dalam pandangan saya pribadi, jurnal tak semata mengekspresikan perasaan, namun lebih untuk menceritakan rangkaian peristiwa dalam sehari ini---mulai dari pagi saat bangun hingga detik ketika catatan harian dituliskan malamnya. Karena merupakan catatan peristiwa, unsur emosi dan perasaan tentu sudah pula termasuk di dalamnya.

Pengalaman membuktikan, menulis catatan harian yang berbentuk jurnal membentuk personal growth dalam banyak sisi. Selain ekspresi-ekspresi diri dan ketertataan pengungkapan kata, jurnal secara tak disadari akan melatih kemampuan kita menulis fiksi.

Ada paparan narasi di dalamnya, juga deskripsi (tempat, situasi, keadaan emosi internal), eksposisi, dan kadang ada tambahan berupa dialog---sesuai peristiwa aslinya. Dan, jika diperlukan, buku harian bisa menjadi novel berjenis epistolary, atau novel yang tersusun sepenuhnya dari "dokumen" (surat-menyurat, SMS, email, kliping berita, dan juga buku harian).

Format tulisan lain yang bisa ditempuh adalah puisi dan free writing. Dua-duanya sama, yaitu menulis secara bebas apa pun yang ada di dalam benak. Bedanya, puisi lebih terstruktur karena umumnya ditulis dalam bentuk bait-bait yang teratur dan tertata rapi, kemudian dilengkapi judul dan atribut penyerta (persembahan atau tanggal dan jam saat puisi ditulis).

Sementara itu, free writing, seperti namanya, benar-benar menulis secara bebas. Tulisan cukup berisi umpatan-umpatan kasar pun tak apa, yang penting bisa menumpahkan kesumpekan dalam hati.

Satu hal penting dalam therapeutic writing adalah bahwa penulisan jenis ini bersifat no audience. Artinya, kita menulis ya untuk nulis saja, bukan untuk dibaca orang lain. Maka kita tiba pada pembahasan di atas soal talenta. Karena memang hanya untuk diri sendiri, kenapa bakat menulis masih penting? 

Dan sebagaimana ungkapan "mencegah lebih baik daripada mengobati", tentu lebih tepat melakukan therapeutic writing sebagai pencegahan ketimbang pengobatan.

Yang pertama bisa langsung kita lakukan saat ini, detik ini juga, sedang yang kedua kan berdasar arahan ahli yang harus dibayar. Selain itu, seringkali talenta eksis dalam bentuk bakat terpendam---yang andai tak dijajal untuk diicipi, juga tak bakal ketemu seumur hidup lalu tersia-siakan.

Siapa tahu, puisi atau cerpen yang Anda tulis untuk tujuan therapeutic writing ternyata berkategori layak muat di Kompas atau masuk nominasi pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa. Siapa tahu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun