Pas di rumah, tak apa kita pakai baju bolong-bolong yang sudah kumuh, tapi akan jadi problem jika pakaian lusuh itu kita kenakan saat hadir di resepsi pernikahan.
Maka para penulis mutlak untuk menguasai teknik dasar menulis sesuai kaidah EBI (Ejaan Bahasa Indonesia; dulu disebut EYD). Ini mengikat hal-hal semacam penggunaan huruf besar, tanda baca, efek italic (ditulis miring), dan termasuk juga tata bahasa.Â
Tulisan yang rapi dan disiplin adalah cerminan profesionalitas penulis bersangkutan, yang membuat tulisan-tulisannya nyaman untuk dibaca.
Kaidah berikutnya mengatur soal editing dan revisi. Sebelum dipublikasikan, tulisan harus mengalami proses ini. Editing berfungsi terutama untuk menemukan kesalahan-kesalahan dalam tulisan terutama soal typo (salah ketik) yang bisa sangat mengganggu.Â
Jika penyuntingan saja tak cukup, tulisan mungkin harus pula direvisi atau bahkan ditulis ulang.
Semua penulis pro pasti mengalami tahapan ini dalam tulisan mereka, baik penulis jurnalistik (redaktur, wartawan) maupun penulis buku.Â
Kita yang pernah mencicipi pendidikan tinggi belajar mencicipi fase ini saat menjadi mahasiswa yang tengah mengerjakan skripsi (dan naskah skripsinya diorek-orek dengan tulisan "SAMPAH!" oleh dosen keji), lalu kita terbiasa untuk melakukan cek dan ricek pada tulisan dan isinya sebelum mempublikasikannya secara luas.
"Tulisan yang rapi dan disiplin adalah cerminan profesionalitas penulis bersangkutan, yang membuat tulisan-tulisannya nyaman untuk dibaca."
Dan aturan hukum paling akhir adalah mengenai keputusan akhir untuk melakukan publikasi. Banyak faktor mendasari ini, sejak dari aktualitas, faktor komersialitas, hingga urgensi.Â
Para penulis sadar betul fenomena ini, dan harus menerima kenyataan andai tulisan yang sudah siap tahu-tahu tak jadi diterbitkan pada detik-detik akhir karena satu atau beberapa faktor tersebut.Â
Kadang bahkan harus rela nulis lagi dari awal jika pembatalan terjadi karena muncul tema lain (breaking news, misalnya) yang dinilai lebih layak muncul.