Masalahnya, kudu nunggu sampai batas mana? Hidup kan harus berjalan, dan perlu dibiayai. Sementara mempunyai pekerjaan utama di luar menulis untuk menyokong hidup kerap kali membuat kita terpaksa harus membuat pilihan soal prioritas utama, terlebih ketika ada keluarga yang harus di-support.
Kondisi seram terkait penolakan ini kerap kali membuat kita merasa situasi selalu dan terlalu berat, sehingga akhirnya menyerah. Entah menyerah beneran ("Ya wis lah, pancen dudu takdirku dadi penulis...!"), atau prioritas tersisihkan oleh pekerjaan utama yang lebih menyita waktu dan energi. Dan kemudian impian serta passion untuk menjadi penulis lama-lama tergerus sehingga sama sekali menghilang.
Kehadiran internet kemudian mengubah total pola berpikir itu. Satu dekade lalu, tak jauh dari fajar kelahirannya, kita sudah dikenalkan dengan weblog, alias blog.Â
Dan kemudian kita heran karena untuk membuat tulisan kita terbaca ribuan orang, kita tak perlu lagi menghadapi ketakutan akan penolakan. Saat itu, detik itu juga, kita bisa langsung mempublikasikan tulisan ke ruang publik. Populer tidaknya bergantung kualitas tulisan---dan keberuntungan. Namun satu hal yang dulu paling diimpikan penulis, yaitu dimuat dan dibaca banyak orang, terwujud. Dan tahap itu kita sendirilah yang menentukan.
Situasi makin cerah ketika kemudian ketika Wattpad diluncurkan oleh Allen Lau dan Ivan Yuen tahun 2006. Keunggulan laman baru ini adalah pada formatnya yang sudah berupa buku, lengkap dengan sampul yang bisa dibuat sangat eye catching---dan kemudian tersedia pula template-nya dalam banyak pilihan.Â
Wattpad pun menjadi solusi bagi para penulis (fiksi) baru untuk mempublikasikan karya-karyanya sesegera mungkin, persis seperti cara kita bermain blog.
Karena pihak pemasang adalah penulis sendiri, maka hal menakutkan yang dulu sangat menghantui itu---which is penolakan---menjadi tak ada lagi. No gate keeper anymore!Â
Kendali sepenuhnya ada di tangan kita penulis. Memang belum ada keuntungan secara finansial, tapi itu tak terlalu jadi soal. Terbaca banyak orang itu saja sudah suatu keistimewaan tersendiri yang amat mahal. Profit bisalah diurus nanti-nanti, sambil jalan.
Era penulisan digital pun pada pandangan saya sudah bisa dikatakan sebagai sebuah zaman tanpa adanya penolakan. Tentu secara umum hal itu masih ada, bila ingin menapak ke jenjang penerbitan major komersial. Namun seorang penulis anyar belum terlalu urgen untuk buru-buru sampai ke sana, kecuali segelintir nama pesastra muda berbakat luar biasa yang ujug-ujug bisa langsung duduk di kursi Ubud, Makassar, atau Jakarta International Literary Festival pada kesempatan pertama.
Sebagian besar masih harus menempa kemampuan di pengalaman, dan keberadaan platform-platform penulisan digital, salah satunya Kompasiana ini, menjadi kawah Candradimuka yang bagus untuk itu. Segaya-gayanya media massa dan perusahaan penerbit besar, ada satu hal pada platform penulisan digital yang tidak mereka miliki, yaitu fitur feedback, yang memungkinkan terbangunnya diskusi kreatif yang produktif tentang karya-karya yang muncul.
Dulu mana ada yang seperti itu? Cerpen atau cerbung di koran hanya bisa dikomentari lewat surat pembaca. Sedang buku cetak bahkan tak ada sarana feedback sama sekali---harus muter lewat resensi di media massa, blog, atau review di Goodreads, dan kerap kali itu tidak dibaca dan terbaca oleh penulis. Sudah dibaca pun, lebih sering para penulis mengabaikannya, tidak terpancing untuk balas berkomentar.