Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini (2024) telah menerbitkan 46 judul buku, 22 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Buku terbaru "Tangguh: Anak Transmigran jadi Profesor di Amerika", diterbitkan Tatakata Grafika, yang merupakan biografi Peter Suwarno, associate professor di School of International Letters and Cultures di Arizone State University, Amerika Serikat.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Harus Berubah Dulu, Baru Setelah Itu Menjamah Netflix

12 Agustus 2019   21:01 Diperbarui: 14 Agustus 2019   04:13 1196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belakangan muncul keributan di kalangan netijen ketika ada rencana KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) untuk mengawasi tayangan-tayangan Netflix. Karena Netflix memang merupakan "kelanjutan" dari televisi tradisional, KPI merasa kontennya pun masih menjadi domain pengawasan mereka.

Dan para netijen, utamanya kelas menengah perkotaan, jelas resah karena mereka migrasi ke Netflix sebagai efek dari kanal-kanal TV tradisional yang sudah tak lagi mampu mengikuti gaya hidup maupun standar intelektualita mereka.

Banyak faktor melatarbelakangi perpindahan ini. Namun bila hendak dikaji lebih jauh, penyebab utama adalah kegagalan KPI menjalankan fungsinya untuk mengatur TV konvensional agar lebih intelek, edukatif, dan berkualitas. 

Memang KPI kerap kali menyemprit acara-acara tertentu, namun gambaran umum konten TV tradisional tetap sama: seolah menghalalkan segala cara demi rating.

Kualitas sinetron tak kunjung membaik (perkecualian adalah sinetron-sinetron NET.), infotainment masih tetap mengumbar sisi privasi pesohor dan para "reporter" bertanya soal perasaan pada korban musibah, dan beberapa kanal masih mengeruk rating prime time lewat acara rame-rame tak jelas penuh guyonan yang menyasar kelemahan fisik dimulai pada pukul 19 dan baru berakhir tengah malam---tiap malam. Netflix dengan stok tayangan yang jauh lebih berkonsep menjadi pilihan paling logis.

Pertanyaannya, mengapa KPI yang memiliki kewenangan menegur bahkan menghentikan tayangan tetap tak membawa perubahan pada suasana konten TV terrestrial yang free-to-air? Kami para pegiat literasi media dan pantauan media memandang metoda kerja KPI menjadi penyebabnya. Mereka tak melakukan pengawasan tayangan secara komprehensif, melainkan cenderung seperti hanya sekadar bersandar pada check list.

Komprehensif bagaimana? Baiklah, saya akan cerita pengalaman saya ketika tujuh tahun lalu saya ikut aktif di kegiatan literasi media bersama sebuah LSM dari Semarang, yaitu LeSPI (Lembaga Studi Pers & Informasi).

Pada program kerja tahun 2012, fokus literasi media kami adalah televisi. Kami bertindak sebagai semacam "KPID swasta" (Komisi Penyiaran Daerah, Jawa Tengah tepatnya), ikut juga mengawasi tayangan-tayangan televisi. 

Tak hanya memantau, saya bersama beberapa penulis sesama aktivis LeSPI menulis semacam "resensi" acara TV di sebuah blog bernama Matatanda, yang kemudian diterbitkan menjadi buku berjudul (Tak) Harus Membenci Televisi pada bulan Desember tahun yang sama.

Sebagaimana Anda bisa cermati sendiri melalui blog tersebut, kami benar-benar melakukan kupasan seilmiah mungkin. Tentu untuk level jurnalistik, bukan akademis, karena para member LeSPI besar di kolam profesi jurnalistik. 

Dari berbagai angle, kami coba soroti kualitas satu tayangan. Sehingga ada dasar ketika satu tayangan kami nyatakan berkualitas (sehingga layak untuk terus dihadirkan dan disaksikan permirsa), dan begitu pula sebaliknya.

Itulah yang disebut pengamatan komprehensif, secara menyeluruh, sebelum tiba pada kesimpulan layak tidaknya satu jenis acara terus dipertahankan. 

Bukan dari sisi komersialitas (rating), melainkan dari segi manfaat edukatifnya bagi pemirsa. Ini seperti membandingkan Mata Najwa atau Kick Andy dengan Yuk Keep Smile! atau tayangan tentang Rafathar.

Sementara itu, kami mempunyai dugaan bahwa metoda kerja KPI, baik pusat maupun daerah, dalam memantau tayangan TV tidak seperti itu. 

Mereka terkesan hanya menggunakan check list terkait hal-hal negatif tertentu yang mungkin ada dalam satu tayangan. Misal rokok, belahan dada, cipratan darah, senjata, atau unsur SARA---tanpa perlu memahami keseluruhan konten dan kualitas tayangan bersangkutan.

Ada belahan dada? Check. Di-blur. Ada konten SARA? Check. Keluarkan sempritan. Ada darah? Check. Gambar dibuat duotone.

Jika dilakukan tanpa pengamatan menyeluruh terhadap tayangan terkait, hasil "pemantauan" itu bisa sangat aneh. Misal menyemprit tayangan film The Da Vinci Code karena mengandung unsur SARA. Atau mengaburkan gambar darah padahal tayangannya adalah dokumenter soal PMI dan transfusi darah!

Dan pada saat yang sama, KPI membiarkan saja konten tidak edukatif berkeliaran di layar kaca tiap hari. Mau contoh? Sinetron yang mengajarkan hedonisme dan "trik praktis" melakukan perundungan; infotainment dengan yang membuat "berita" dengan standar jurnalisme rendah; tokoh dalam sinetron seri berlatar Pasundan abad ke-13 yang menyantap apel---sesuatu yang jelas belum ada pada era itu!

Jika kemampuan para komisioner KPI dalam menganalisis dan mengulas tiap judul tayangan serinci kami dari LeSPI, acara-acara itu jelas bakal kena kartu merah (tak lagi sekadar disemprit) karena menyesatkan dan jauh dari asas "tontonan sebagai tuntunan". 

Sebagai jurnalis, geli kami mendengar bahasa "jurnalistik" infotainment yang penuh opini, memihak, dan para reporter masih menanyakan, itu tadi, "Bagaimana perasaan Anda?" pada narasumber yang tengah kena musibah!

Maka bentuk pengawasan dan pengaturan KPI terhadap tayangan-tayangan televisi seharusnya bukan menyemprit dan memberi kartu kuning seperti wasit sepakbola, melainkan memberi rekomendasi secara berkala. 

Ada daftar acara-acara "haram" yang harus segera dihentikan, ada yang boleh dinegosiasi terkait rating, dan ada pula yang harus dipertahankan. 

Dasarnya bukan lagi pernak-pernik kecil acara bersangkutan, seperti dialog, adegan, atau muatan visual, melainkan pengamatan menyeluruh secara paripurna.

Perubahan metoda kerja ini justru krusial jika KPI memang serius ingin "ekspansi usaha" ke TV streaming, dan juga TV satelit berlangganan (yang sepertinya selama ini tak masuk domain pengawasan KPI). 

Saat bekerja dengan mencontreng elemen-elemen tayangan yang masuk kategori terlarang, jelas semua isi mereka kena semua. Game of Thrones penuh adegan "pornografi". Breaking Bad bahkan "tidak mendidik" karena berkisah soal peracik sabu!

Namun apabila cara kerja kami di Matatanda itu yang dipakai, akan jelas dan gamblang kedudukan semua konten "pornografi" dan alur cerita yang "sesat" tersebut. 

Mereka tak lagi dipandang sendiri-sendiri tanpa konteks, melainkan merupakan bagian-bagian integral tayangan terkait, yang justru menjadikannya berkualitas dan berfungsi efektif sebagai sebuah karya seni budaya.

Yakin deh! Andai kami para kru LeSPI yang duduk di KPI, dengan cepat kami akan dapat membuat kanal-kanal TV swasta free-to-air penuh acara-acara seperti Kick Andy, Mata Najwa, sinetron-sinetron seperti Tetangga Masa Gitu dan OK Jek, reportase seperti Aiman, atau infotainment seperti Entertainment News yang berkonsep jauh dari isu dan gosip.

Dan kami juga tak akan membicarakan soal kekhawatiran kebocoran konten dewasa di Netflix pada anak-anak sebagai dasar berpikir rencana pengawasan itu. 

Sebelum mendiskusikan apa pun, kami pasti sudah tuntas melakukan percobaan pada Netflix (dan juga Iflix, Viu, Hooq, Amazon Prime, dan konco-konconya) sehingga bisa paham bahwa mereka memiliki fitur pengaturan konten dewasa. 

Kecuali sedang semaput atau amnesia, pastilah pengguna Netflix dalam keluarga akan secara otomatis mengaktifkan fitur tersebut agar anak-anak aman menonton.

Dan, oh ya, di sana ada juga loh tayangan-tayangaan khusus untuk anak---sesuatu yang dewasa ini sudah amat langka ada di kanal-kanal TV terrestrial yang diawasi dan dibimbing KPI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun