Belakangan muncul keributan di kalangan netijen ketika ada rencana KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) untuk mengawasi tayangan-tayangan Netflix. Karena Netflix memang merupakan "kelanjutan" dari televisi tradisional, KPI merasa kontennya pun masih menjadi domain pengawasan mereka.
Dan para netijen, utamanya kelas menengah perkotaan, jelas resah karena mereka migrasi ke Netflix sebagai efek dari kanal-kanal TV tradisional yang sudah tak lagi mampu mengikuti gaya hidup maupun standar intelektualita mereka.
Banyak faktor melatarbelakangi perpindahan ini. Namun bila hendak dikaji lebih jauh, penyebab utama adalah kegagalan KPI menjalankan fungsinya untuk mengatur TV konvensional agar lebih intelek, edukatif, dan berkualitas.Â
Memang KPI kerap kali menyemprit acara-acara tertentu, namun gambaran umum konten TV tradisional tetap sama: seolah menghalalkan segala cara demi rating.
Kualitas sinetron tak kunjung membaik (perkecualian adalah sinetron-sinetron NET.), infotainment masih tetap mengumbar sisi privasi pesohor dan para "reporter" bertanya soal perasaan pada korban musibah, dan beberapa kanal masih mengeruk rating prime time lewat acara rame-rame tak jelas penuh guyonan yang menyasar kelemahan fisik dimulai pada pukul 19 dan baru berakhir tengah malam---tiap malam. Netflix dengan stok tayangan yang jauh lebih berkonsep menjadi pilihan paling logis.
Pertanyaannya, mengapa KPI yang memiliki kewenangan menegur bahkan menghentikan tayangan tetap tak membawa perubahan pada suasana konten TV terrestrial yang free-to-air? Kami para pegiat literasi media dan pantauan media memandang metoda kerja KPI menjadi penyebabnya. Mereka tak melakukan pengawasan tayangan secara komprehensif, melainkan cenderung seperti hanya sekadar bersandar pada check list.
Komprehensif bagaimana? Baiklah, saya akan cerita pengalaman saya ketika tujuh tahun lalu saya ikut aktif di kegiatan literasi media bersama sebuah LSM dari Semarang, yaitu LeSPI (Lembaga Studi Pers & Informasi).
Pada program kerja tahun 2012, fokus literasi media kami adalah televisi. Kami bertindak sebagai semacam "KPID swasta" (Komisi Penyiaran Daerah, Jawa Tengah tepatnya), ikut juga mengawasi tayangan-tayangan televisi.Â
Tak hanya memantau, saya bersama beberapa penulis sesama aktivis LeSPI menulis semacam "resensi" acara TV di sebuah blog bernama Matatanda, yang kemudian diterbitkan menjadi buku berjudul (Tak) Harus Membenci Televisi pada bulan Desember tahun yang sama.
Sebagaimana Anda bisa cermati sendiri melalui blog tersebut, kami benar-benar melakukan kupasan seilmiah mungkin. Tentu untuk level jurnalistik, bukan akademis, karena para member LeSPI besar di kolam profesi jurnalistik.Â
Dari berbagai angle, kami coba soroti kualitas satu tayangan. Sehingga ada dasar ketika satu tayangan kami nyatakan berkualitas (sehingga layak untuk terus dihadirkan dan disaksikan permirsa), dan begitu pula sebaliknya.