Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini (2024) telah menerbitkan 46 judul buku, 22 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Buku terbaru "Tangguh: Anak Transmigran jadi Profesor di Amerika", diterbitkan Tatakata Grafika, yang merupakan biografi Peter Suwarno, associate professor di School of International Letters and Cultures di Arizone State University, Amerika Serikat.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Resensi Bukan Sekadar Memuji dan Mengkritik

3 Januari 2019   19:21 Diperbarui: 3 Januari 2019   20:03 1091
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagian besar dari kita pasti tahu apa itu review, alias resensi. Intinya adalah tulisan atau artikel di media massa yang berisi kritik bagi suatu karya. Bisa buku, film, serial televisi, sinetron, atau album musik. Di ilmu jurnalistik, resensi adalah salah satu bentuk artikel reproduksi. Artinya, satu tulisan yang merupakan "anak" dari satu hal lain, yaitu karya yang menjadi subjek ulasannya.

Umumnya, resensi pasti berisi kritik, berupa pandangan-pandangan kritis sang penulis mengenai kekurangan dari satu karya bersangkutan. Kreator karya bersangkutan harus berlega hati alias legawa terhadap kritik ini, karena apa yang disampaikan penulis resensi kemungkinan besar memang adalah kekurangan yang harus diperbaiki dalam karya selanjutnya. Maka, kritik dalam hal ini bersifat membangun. Idealnya, resensi tak hanya memuat kritik, namun juga testimoni atau pujian dan pengakuan (recognition).

Meski begitu, belum ada kesepakatan resmi mengenai bentuk ideal dari sebuah resensi. Tiap penulis memiliki format standar masing-masing saat menulis resensi, terutama disebabkan oleh patokan masing-masing dalam kepenulisan resensi, karena ternyata ada banyak macam resensi.

Kerancuan ini baru terasa dalam event-event sayembara kepenulisan resensi, yang mayoritas pasti menimbulkan friksi sesudah nama-nama pemenang diumumkan dan para peserta saling membaca tulisan resensi peserta-peserta lain.

Lalu pemenang yang hanya meraih juara III, misalnya, protes karena kualitas resensi pemenang utama dikategorikan sebagai belum pantas menyandang predikat tersebut. Bahkan baginya, bisa saja tulisan sang juara pertama bukanlah sebuah resensi, sebagai akibat perbedaan standar antarpenulis dalam memandang apa itu sesungguhnya resensi.

Maka kita pun harus bertanya kembali, sebenarnya apakah itu resensi? Apakah satu tulisan yang asal memuat sinopsis dan penilaian bagus (thumbs up) serta penilaian buruk (thumbs down) sudah layak disebut resensi? Jika juri A yang berasal dari satu ranah resensi memenangkan peserta yang menulis dalam jenis yang sama dengannya, maka corak pemenang kontes resensi lain dapat saja memunculkan pemenang dengan gaya penulisan berbeda jika jurinya juga lain "genre".

Padahal style baku skripsi di mata dosen filsafat tentu akan serupa dengan skripsi dari angle dosen ilmu hukum. Yang berbeda hanya konten per kasus saja. Ini harusnya bisa diterapkan pada resensi, karena bagaimanapun resensi adalah bentuk tulisan nonfiksi yang bersifat ilmiah, bukan karya fiksi yang dapat mentolerir gaya penulisan sebebas dan semerdeka apa pun dari para penulis.

Rekonstruksi cara berpikir untuk menentukan kesepakatan mengenai format standar resensi dapat dimulai dari pengenalan terhadap jenis-jenis resensi. Sebagaimana kita tahu, terdapat tiga jenis resensi: akademik, jurnalistik, dan amatir.

Kritik akademik dilakukan di kampus, dalam situasi intelektualita kelas tinggi berdasar teori-teori bangku kuliah. Resensi jurnalistik dibuat untuk dimuat di media massa. Dulu cetak, dan kini daring. Sedang ulasan amatir adalah yang dilakukan pembaca awam, seperti di blog, Instagram, atau Goodreads.

Mana yang paling ideal? Pasti yang sedang-sedang saja. Kritik level akademik hanya "berlaku" bagi sedikit saja kalangan. Plus, pasti susah untuk bisa dituliskan secara menarik, dan singkat. Sedang kritik amatir terlalu lemah dalam kompetensi karena datang dari warga awam yang, tentu saja, tidak semuanya paham kaidah kepenulisan. Oleh karena itu, reviewer amatir melakukan pengamatan sangat kuyup berdasar selera.

Resensi pada ranah jurnalistik bolehlah digunakan sebagai patokan bagi semua pihak untuk membedah suatu karya. Dunia jurnalistik bergerak dengan premis dasar bahwa tulisan harus singkat, padat, dapat dipertanggungjawabkan, namun menarik bagi pembaca (yang rata-rata) awam. Situasi ini memungkinkan resensi ala jurnalis dapat diterima oleh kalangan akademik maupun oleh khalayak amatir.

Resensi di media massa dituliskan dalam format mengalir tanpa pembagian segmen yang keras dan mengikat sebagaimana resensi akademik dan amatir. Di ranah akademik ada pembagian tulisan ke dalam pendahuluan, latar belakang masalah, landasan teori, dan lain-lain. Sedang resensi amatir utamanya dipecah dalam beberapa segmen, terutama memisah bagian sinopsis dengan bagian ulasan.

Resensi ala media massa tak mengenal pembagian ini. Ia dituliskan dalam satu bagian panjang mirip berita atau artikel feature dan opini. Jika dibagi, paling hanya dipecah ke dalam beberapa segmen melalui subjudul. Panjang tulisan antara 1.000 hingga 1.500 kata (3-4 halaman dengan spasi 1,5), dan dihadirkan dalam urutan yang biasanya tidak berubah.

Pada bagian awal, resensi dibuka dengan paragraf berisi hal-hal menarik untuk memikat perhatian pembaca agar melanjutkan baca. Contohnya adalah "Membaca buku ini terasa seperti datang ke pesta namun begitu masuk ke lokasi, yang ada hanya sepiring gorengan, tanpa cabai".

Ini teknik standar dunia jurnalistik untuk menggoda (to tease) pembaca biar penasaran. Apa yang disodorkan agar membuat penasaran itu harus langsung dijelaskan pada paragraf kedua.

Segmen berikutnya barulah sinopsis, yang tidak boleh terlalu panjang dan mendetail. Dalam resensi, sinopsis berfungsi membuat pembaca terdorong untuk menyimak sendiri karya bersangkutan. Dengan panjang sinopsis maksimal hanya tiga paragraf, seorang penulis resensi harus lulus dalam mata pelajaran "ceritakan dengan kalimatmu sendiri".

Barulah setelah itu kita menginjak sesi kritik, yang berkaitan dengan hal menarik yang disajikan pada paragraf pembuka tadi (ada pesta tapi tersedia hanya sepiring gorengan, yang berarti tak sesuai ekspektasi). Sesudah kritik, testimoni bisa ditambahkan sebagai penyeimbang.

Sebagaimana artikel opini, harus ada pula dasar terhadap satu pendapat dalam resensi, sehingga penilaian positif-negatif yang disampaikan harus dilengkapi dasar legitimasi.

Kemudian, untuk menunjukkan adanya itikad baik, sisi positif harus kembali kita singgung pada bagian paling ujung. Biasanya dengan ungkapan "Meskipun begitu..." atau "Namun terlepas dari semua kekurangannya, film ini tetap saja merupakan...", yang mengirim sinyal kepada kreator, penggemar, dan khalayak penikmat umum bahwa karya bersangkutan tetap saja layak dihargai.

Pada bagian akhir, resensi ditutup dengan satu kesimpulan tunggal yang merupakan inti pesan dari artikel bersangkutan. Bisa berupa rekomendasi perbaikan, keberpihakan peresensi terhadap karya bersangkutan, atau berisi pesan dan saran bagi pembaca umum. Kesimpulan inilah sesungguhnya esensi terpenting satu resensi. Maka jika hanya berisi data-fakta, sinopsis, dan penilaian-penilaian, ia belumlah sah menyandang predikat sebagai sebuah resensi.

Adanya standardisasi akan membuat kita memiliki satu ukuran tunggal untuk menentukan apa sesungguhnya resensi. Terlebih untuk menempatkan resensi itu sendiri sebagai sebuah entitas mandiri, bukan sekadar perangkat promo atau apalagi serangan personal berlandaskan selera pada kreator.

Ini penting karena resensi sesungguhnya adalah alat belajar kita semua untuk memiliki standardisasi pula terhadap kualitas karya-karya, sehingga kita bisa membedakan mana yang bagus dan mana yang tidak secara objektif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun