Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini (2024) telah menerbitkan 46 judul buku, 22 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Buku terbaru "Tangguh: Anak Transmigran jadi Profesor di Amerika", diterbitkan Tatakata Grafika, yang merupakan biografi Peter Suwarno, associate professor di School of International Letters and Cultures di Arizone State University, Amerika Serikat.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

"Dilan" adalah Novel dengan Dosis yang Diturunkan

28 Desember 2018   11:06 Diperbarui: 28 Desember 2018   11:12 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini semua bukan soal skill nulis semata, melainkan kematangan. Pidi Baiq memang sudah lama matang. Tak hanya sebagai penulis namun juga seniman secara umum. Ia lahir tanggal 8 Juli 1972, sudah berusia 42 tahun saat cetakan pertama Dilan terbit. Tak aneh kita bisa mencium aroma kebajikan dalam Dilan---sesuatu yang tak mungkin ada dalam buah karya dari seorang pengarang yang mengisahkan tokoh-tokoh dengan periode usia yang sama dengan usia kalendernya saat itu.

Namun di atas kata-kata dan kalimat memorable Dilan pada Milea, hal terpenting dari novel yang berawal dari unggahan-unggahan Pidi di blog ini adalah pesan moralnya. Dan bukan yang termuat dalam cerita, melainkan yang hadir secara tersembunyi. Istilah kerennya, subliminal message. Setidaknya ada dua hal krusial yang harus kita cermati.

Satu, omongan Dilan pada Milea soal "Tidak langsung, tapi kena". Ini mirip petuah Mbah Atmo pada Mara di novel Mara: Diktator, Eksim, dan Cinta yang Nayal-nayal mengenai Ngelmu Ngalang. Saat melakukan sesuatu, dalam hal ini mendekati gebetan, kadang kita harus menggunakan cara-cara seperti yang ditempuh Dilan. Tidak langsung hantam dengan rutin menemui atau menelepon seperti teknik modus Adi, melainkan harus "memutar" lewat obrolan aneh-aneh, hadiah yang tak lazim, dan keserbatakterdugaan (yang membuat target merasa diistimewakan).

Dan hal penting kedua adalah suri tauladan Pidi sebagai seniman multitalenta yang bersedia "menurunkan dosis" untuk menerjuni belantara teenlit. Banyak penulis senior dan terutama sastrawan tinggi yang gengsi di titik ini, dengan alasan "sudah tidak menguasai dunia remaja masa kini" sehingga agak enggan untuk (kembali) menulis novel remaja (sebagaimana pada periode awal karier menulis mereka sekian puluh tahun lalu).

Pidi menghadirkan solusi jitu untuk problem ini. Karena tidak tahu situasi ABG terkini, kenapa tidak mengisahkan masa ABG masing-masing? Untuknya, tentu adalah tahun 1990, saat ia masih berumur 18 dan masih pula menjadi "Dilan". Strategi ini jitu karena tak saja mempermudah penulisan, melainkan berhasil pula menggaet dua segmen sekaligus: orang seusianya (seusia saya juga) yang ingin bernostalgia era 1990-an, serta remaja ABG milenial yang tersepona pada keromantisan Dilan dan Milea.

Saya sendiri, membaca ini, jadi ingin balik lagi ke tahun itu untuk menikmati musim hujan yang sendu di Kota Kembang...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun