Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini (2024) telah menerbitkan 46 judul buku, 22 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Buku terbaru "Tangguh: Anak Transmigran jadi Profesor di Amerika", diterbitkan Tatakata Grafika, yang merupakan biografi Peter Suwarno, associate professor di School of International Letters and Cultures di Arizone State University, Amerika Serikat.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Elang Menoreh dan "Musketeer" Jawa

10 Desember 2018   09:21 Diperbarui: 10 Desember 2018   19:04 1299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awalnya adalah sebuah kegelisahan. Gelisah karena terjadi perulangan secara terus-menerus yang nyaris seperti mengabaikan inovasi. Kondisi itulah yang terjadi pada salah satu subgenre khusus di dunia sastra populer Tanah Air yaitu cerita silat alias cersil. Dan perulangan yang tanpa akhir itu pulalah yang barangkali memicu kematiannya menjelang akhir penghujung milenium kedua lalu.

Genre cersil memang hampir-hampir tak pernah mengandung terobosan apa pun sejak kali pertama berkembang di Indonesia mulai dekade 1950-an. Muncul sebagai efek pengaruh dari novel-novel wuxia (secara harfiah berarti pahlawan bela diri) dari daratan Tiongkok, cersil lokal kemudian tumbuh berkembang. Beberapa mengadaptasi dan menyadur kisah-kisah asli Tiongkok ke Bahasa Indonesia. 

Sebagian mengembangkan kisah berlatar Tiongkok namun asli buatan penulis Indonesia (seperti Asmaraman S. Kho Ping Hoo), dan ada pula yang tidak berkisah soal kung fu melainkan pencak silat (SH Mintardja, Widi Widayat).

Sayang nyaris semua kisah silat karya penulis lokal---kecuali Mintardja---menghadirkan elemen-elemen yang saling serupa seolah terikat aturan baku dan keramat yang andai dilanggar bisa memicu bencana kelaparan dan wabah penyakit! Di antara sekian banyak elemen yang seperti "wajib" hadir adalah kisah para pendekar berebut senjata pusaka atau kitab silat sakti.

Goa juga cukup sering dimunculkan. Umumnya terkait sang tokoh protagonis yang kalah dihajar monster boss lalu jatuh ke jurang dan tersesat ke goa di dasar jurang. Kebetulan di sana terdapat pahatan huruf-huruf ilmu silat kuno warisan seorang pendekar legendaris. Variasi lain adalah keberadaan seorang tokoh luar biasa sakti yang mengasingkan diri dari dunia ramai dan kemudian menyelamatkan sang protagonis.

Dengan konten yang stagnan tanpa terobosan, tak aneh bila perkembangan zaman membuat gaung cersil lama-lama hilang. Dua judul yang sempat menyelamatkan muka genre ini, yaitu Senopati Pamungkas dan Nagabumi, datang justru dari sastrawan umum, bukan penulis spesialis cersil, yaitu Arswendo Atmowiloto dan Seno Gumira Ajidarma. Dan memang terasa jelas banyak hal-hal segar yang disuntikkan kedua penulis besar itu melalui kedua judul tersebut, sangat beda dari kisah-kisah cersil "generik".

Kegelisahan saya berikutnya muncul dari merebaknya genre novel berjenis sejarah belakangan ini yang murni meninggalkan aspek laga di dalamnya. Novel-novel tersebut berlatar Jawa abad ke-12 hingga 17 yang rata-rata sangat tebal namun hanya berisi drama penuh emosi. Elemen laga (pencak silat) hadir hanya sebagai ornamen---atau bahkan dihindari sama sekali. 

Bagi saya ini pelanggaran besar, karena serupa dengan mengisahkan warga milenial abad ke-21 namun tak pernah menyebut-nyebut soal twitwar, hashtag, follow, atau toko online. Mengapa begitu? Karena keahlian bela diri, entah silat atau kung fu, adalah bagian integral perikehidupan masyarakat kita praabad ke-20.

Dengan atmosfer seperti itulah saya mulai menulis cersil Elang Menoreh: Perjalanan Purwa Kala ini, yang kemudian diterbitkan Metamind, imprint untuk novel dewasa dari penerbit PT Tiga Serangkai, Surakarta. Dipengaruhi secara masif oleh serial-serial televisi seperti Spartacus, Da Vinci's Demons, Marco Polo, dan juga Game of Thrones, pengejaran saya yang paling utama adalah tentang kehadiran banyak hal-hal baru yang dulu tak pernah tersentuh oleh para penulis cersil milenium kedua. Sebagian besar inspirasi baru saya dapatkan dari judul-judul tersebut.

Yang paling awal adalah tentang para tokoh utamanya. Nara, Raden Rangga, Raden Pabelan, dan Retna Wilis, adalah anak-anak muda remaja (ABG) dengan kekhasan kemudaannya. Jahil, tengil, jenaka, dan suka saling meledek, jelas adalah karakterisasi remaja di belahan dunia mana pun dan pada zaman kapan pun. Lain dari tokoh-tokoh utama cersil masa lalu yang semuanya selalu kaku, formal, pendiam, malu-malu, dan dengan sikap dan pola pikir yang terlalu tua untuk ukuran usia belasannya.

Ini tak sulit saya kerjakan, karena saya memulai menerbitkan novel pada dekade lalu dengan novel-novel roman remaja (teenlit). Maka saya tinggal menggunakan jurus karakterisasi ala kisah teenlit ke sini, yang berlatar tahun 1586. Ada tokoh siswa teladan langganan ranking satu, ada yang bertipe ganteng dan "kapten tim basket", dan  tak ketinggalan cewek populer yang di kisah-kisah teenlit umumnya dikisahkan menjadi ketua tim cheerleaders sekolah.

Inovasi berikut adalah soal tema, yang beralih dari topik soal urusan supranatural (keris pusaka mahasakti, kitab keramat yang berkekuatan super, atau ilmu ajian yang mengandung daya perusak dahsyat seperti Ajian Serat Jiwa-nya Brama Kumbara) menuju kekuatan persenjataan dari sisi ilmiah---bahkan fiksi ilmiah yang futuristik untuk ukuran abad pertengahan. Senjata yang dijajal Nara di kisah ini adalah serupa jika kita sekarang mencoba photon canon seperti yang ada di kapal bintang USS Enterprise di serial Star Trek.

Pembaruan juga berlaku dalam hal kemasan edisi. Semua cersil klasik, termasuk produk Tiongkok, muncul dalam kemasan epik berskala besar. Mereka masing-masing total berisi ribuan halaman yang kemudian dikemas dalam buku-buku berdimensi padat (di bawah 200 halaman) dalam puluhan episode. Dalam Elang, permasalahan selesai dan tuntas cukup dalam satu novel setebal 357 halaman, dan kelak hanya akan membentuk trilogi seperti The Lord of the Rings-nya JRR Tolkien atau His Dark Materials-nya Philip Pullman.

Elang Menoreh termasuk salah satu naskah dengan penggarapan terlama, karena mulai saya kerjakan pertengahan 2010. Banyak perubahan terjadi sepanjang jalan. Bahkan di meja editor pun, revisi cukup besar harus saya kerjakan. Ketebalan asli yang sekitar 380 halaman harus dicukur ke angka 230-an. Dan banyak sekali unsur kekejaman dan nudity terkena gunting sensor mengikuti misi edukasi yang diemban Tiga Serangkai.

Yang jelas, sebagaimana film Robin Hood versi milenial, Elang juga merupakan versi milenial dari cerita silat berbasis sejarah, yang dulu pernah sangat dekat dengan budaya baca kita. Ada muatan kearifan lokal tentang budaya Jawa dan sejarahnya, namun saya potret dengan cara sedemikian rupa sehingga menarik dan mudah dipahami oleh kids jaman now yang mayoritas penganut fanatik budaya Korea.

Dan di sini, kita akan tahu bahwa yang disebut harta karun tak selalu harus berarti intan permata, uang segudang, atau emas lantakan. Selain itu, tahukah Anda bahwa di Jawa pun ada musketeer?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun