Dan Brown biasa mengeksplorasi kekayaan data dan fakta, Veronica Roth atau Margaret Atwood mengimajinasikan dunia masa depan secara terbalik, dan di sini, seorang Sandra Brown mengisahkan suatu genre namun menggunakan style genre lain. Jika pernah membaca cerita silat semacam Api di Bukit Menoreh atau Senopati Pamungkas, ia mungkin bisa saja menuturkannya dengan gaya opera sabun yang penuh inrik dan saling jegal---atau merunut kisah pembunuhan dengan menggunakan metoda whodunit seperti teknik Agatha Christie!
Dan karena normalnya novel asal Amerika Serikat dikerjakan bersama panduang seorang agen menulis (dan bukan hanya first reader yang pasti akan langsung bilang "Ih, bagus banget!"), Deadline pun relatif mulus secara teknis. Nyaris tak ada gangguan seperti yang kerap diderita novel-novel (romance) Tanah Air, seperti keberlimpahan typo, kesalahan logika, kesamaan corak dialog semua tokoh (mirip yang ngarang), dan konsistensi karakter.
Jika ada kekurangan yang harus disebut, itu ada pada detailnya. Tak ada paparan detail data fakta mengejutkan yang umumnya ada dalam novel-novel asal Negeri Paman Sam. Semua informasi relatif berkadar normal-normal saja, pernah kita dapatkan sebelumnya pada karya-karya lain---kecuali yang memang seumur hidup hanya nonton sinetron Indonesia atau India, atau baca novel religi mellow.
Ketika epilog berakhir dan kita letakkan buku tebal ini di meja atau masuk rak buku, kita paham bahwa ini sesungguhnya tak lebih dari sekadar kisah ala FTV, namun semua cita rasa jadi begitu berbeda hanya karena soal inovasi. Seperti seusai menyantap sebuah menu bernama rumit dan asing di restoran mahal, dan baru kemudian nyadar, "Lhah, ini kan gemblong...!". Â Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H