Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini (2024) telah menerbitkan 46 judul buku, 22 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Buku terbaru "Tangguh: Anak Transmigran jadi Profesor di Amerika", diterbitkan Tatakata Grafika, yang merupakan biografi Peter Suwarno, associate professor di School of International Letters and Cultures di Arizone State University, Amerika Serikat.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Punahnya "Susuk" pada Era Cashless Society

3 Desember 2016   00:07 Diperbarui: 5 Desember 2016   12:32 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto: finalwakeupcall)

Pada tahun 1999, jauh sebelum menjadi author dan ngeblog di Kompasiana, saya pernah bekerja sebagai operator wartel di Stasiun Poncol, Semarang. Tugas saya simpel saja, mengawasi pemakaian telepon (waktu itu ada dua KBU; kamar bicara umum) dan menerima pembayaran. Tarif bicara telepon Telkom untuk sambungan lokal (local call) kala itu adalah Rp 300 untuk tiga menit (kalau untuk interlokal alias SLJJ alias sambungan langsung jarak jauh, lupa).

Karena wartel buka 24 jam, para operator yang berjumlah tiga butir dibagi dalam tiga shift. Pagi antara pukul 7 hingga 16, sore antara pukul 16 hingga 23, dan malam antara pukul 23 hingga 7 keesokan harinya. Saya pernah merasakan tugas jaga di ketiga shift itu. Dan meski shift malam adalah yang terberat—karena harus melek-melek nonstop—puncak permasalahan bukan pada jatah shift malam hingga pagi, melainkan untuk urusan susuk atau uang kembalian.

Sungguh, tak ada yang lebih memusingkan ketimbang melihat angka Rp 600 di layar monitor dan menerima uang pecahan Rp 10 ribuan dari pelanggan. Sekalipun sudah berbekal kalkulator, tetap ribet memberi uang kembalian dalam posisi semacam itu. Terlebih apabila kemudian saya menjumpai bahwa stok recehan untuk susuk ternyata menipis, atau bahkan tak ada sama sekali.

Saya jelas panik, terlebih kalau pengunjung mengantre pada jam-jam sibuk kedatangan kereta api. Meminta teman untuk menukar uang besar dengan uang recehan ke pedagang atau toko di stasiun atau ke SPBU pun tetap perlu waktu. Berikutnya, sebelum memulai jadwal kerja, saya selalu mengantisipasi dengan menyediakan stok uang kembalian sebanyak mungkin. Itu pun biasanya tetap tak selamat hingga jam kerja berakhir. Di tengah jalan pasti susuk telah habis dan harus di-top up.

Ketika itu, saya mengimajinasikan, alangkah menyenangkan andai ada satu cara ketika kita tak perlu uang cash untuk bertransaksi, salah satunya di wartel. Ini penting karena ongkos bertelepon lewat wartel biasanya terjadi dalam nominal kecil, sedang pelanggan tak selalu punya tiga keping uang logam ratusan untuk membayar dengan uang pas.

Maka saya—yang hobi nonton film science fiction futuristik—mengkhayalkan betapa pelanggan bisa 'mendaftarkan' uangnya ke mesin kasir wartel dari simpanan tabungan yang ada di rekening masing-masing. Bertelepon sejumlah Rp 900, ya cukup nominal sejumlah itu yang dimasukkan ke mesin kasir dengan dipotong dari tabungan. Karena internet dan ponsel ketika itu belum ada (saya baru kenal e-mail akhir tahun itu, sesudah resign dari wartel, dan mempunyai ponsel dua tahun kemudian), bayangan terdekat adalah mesin ATM.

Jadi ada semacam ATM mini di mesin kasir, di mana pelanggan cukup mengonfirmasi pembayaran lewat situ. Dengan memencet tombol, jumlah biaya percakapannya akan dipotong langsung dari tabungannya untuk dipindah ke mesin kasir. Praktis. Tak ada uang kertas atau logam yang terlibat. Uang 'khayal' lah yang berpindah, tepat seperti nilai yang diperlukan, lengkap hingga ke angka sen di belakang koma jika perlu. Tak perlu repot mencari uang kembalian.

Kini kemajuan internet dan teknologi telepon pintar mendekatkan kita pada situasi semacam itu dalam arti kata sebenar-benarnya. Dan ada istilah ilmiah untuk itu, yaitu cashless society. Segala hal bisa dikendalikan dari smartphone atau laptop yang terkoneksi dengan internet. Dan kita bakalan tak perlu lagi bertemu dengan uang kertas atau uang logam recehan sepanjang hayat.

Khayalan futuristik saya tentang mesin-mesin ATM mini di dekat mesin kasir tak menjadi kenyataan, namun diganti oleh teknologi lain yang jauh lebih memudahkan. Berkat internet, transaksi-transaksi jual beli dan aneka macam pembayaran bisa dilakukan lewat dunia maya. Mudah dan praktis karena, selain tak perlu ke mana-mana, semua keperluan itu tak memerlukan keberadaan uang secara fisik alias uang tunai.

Bagi manusia-manusia berpaham SOHO (small office home office) yang bekerja tak perlu ngantor (dan punya bos menyebalkan) seperti saya, cashless society adalah sebuah harmoni. Dan bagi warga pemalas seperti saya, yang bekerja maunya cuman ngetik, Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) yang dicanangkan Bank Indonesia sejak 2014 adalah jawaban dari doa. Usai sudah ketika kita harus kesana-kesini mengurus atau membayar sesuatu. Segala hal bisa dikerjakan dari ponsel atau laptop sambil ndlosor.

Dan berkat keberadaan jasa transportasi daring seperti Gojek, berbelanja atau beli makanan dari luar pun bisa juga dilakukan dari ponsel (pembayarannya pun bisa dilakukan nontunai lewat fitur Go-Pay). Maka bisa saja selama seminggu atau dua minggu penuh, kita tak pernah keluar rumah. Baru keluar bila telah rindu sinar matahari dan debu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun